Salman berasal dari Parsi atau Iran sekarang. Ia tidak puas dengan agama Majusi  (menyembah bintang) yang dianut masyarakatnya. Ia lalu berkelana. Salman sempat  mengikuti pendeta Nasrani di daerah Palestina sebelum kemudian tertipu dan  dijual sebagai seorang budak. Namun kemudian ia menjadi seorang Muslim merdeka  di Madinah.
Kabar rencana Qurais menyerbu Madinah telah berhembus  kencang. Salman mendengar pula kabar itu. Ia tahu, saudara-saudaranya sesama  Muslim di Madinah merasa gentar dengan kabar tersebut. Bayang-bayang kekalahan  di Perang Uhud belum lagi sirna. Apalagi kini Qurais tidak sendirian. Mereka  dibantu oleh puak-puak Arab dari Ghatafan, serta jaringan intelijen Yahudi.  Pasukan musuh diperkirakan mencapai jumlah 10 ribu orang.
Di saat Muslim  berkecil hati itu, Salman melontarkan gagasan untuk menggali parit di dataran  pintu masuk Madinah. Itu strategi perang yang sama sekali belum dikenal  masyarakat Arab. Rasul menyetujui gagasan itu. Maka, siang malam seluruh warga  Madinah -termasuk Rasulullah maupun warga Yahudi-bekerja keras menggali parit  tersebut.
Selama enam hari, parit tersebut diselesaikan. Rumah-rumah di  sisi parit dikosongkan. Para perempuan dan anak-anak diungsikan ke belakang.  Batu-batu ditumpuk untuk senjata melawan musuh yang nekat melompati parit itu.  Dengan demikian posisi Muslim di Madinah cukup aman. Di sebelah kanan terlindung  gunung batu yang terjal, di depan terdapat parit besar yang akan membuat  terperosok pasukan berkuda apalagi unta, di kiri terdapat bukit Sal. Di bukit  inilah Muhammad bermarkas yang ditandai dengan keberadaan tenda merah miliknya. 
Musuh sebenarnya bisa masuk dari dataran di belakang. Tapi itu tak  mungkin dilakukan. Di sana adalah pemukiman Yahudi Quraiza yang terikat  perjanjian dengan Muhammad. Masyarakat Yahudi ini bertugas untuk mengatur  kebutuhan makan bagi pasukan Muslim di garis depan.
Segera pasukan musuh  yang dikomandani Abu Sofyan tiba di Uhud. Mereka terkejut karena tak melihat  satupun pasukan Muslim. Lebih terkejut lagi saat mereka melihat parit  perlindungan di pintu masuk Madinah. Tak ada lagi yang dapat dilakukan selain  mengepung Madinah, dan membuat warga kota itu kelaparan. Namun yang demikian  juga sulit dilakukan karena persediaan makanan di Madinah cukup untuk waktu yang  relatif lama. Apalagi saat itu musim dingin.
Sudah berhari-hari mereka  mengepung. Tak ada perkembangan berarti. Ka'ab bin Akhtab --Yahudi penyusun  rencana perang itu-lalu membujuk dua pihak. Yakni agar Qurais dan Ghatafan untuk  tidak pulang. Ia minta waktu 10 hari lagi buat meyakinkan Yahudi Quraiza agar  mengkhianati perjanjiannya dengan Muslimin. Warga Quraiza sempat ragu. Namun  mereka pun memanfaatkan kesempatan. Yakni menuntut Muhammad agar memanggil  kembali Yahudi Bani Qainuqa dan Bani Nadzir yang telah diusir dari Madinah.  Yahudi Quraiza bahkan menghentikan pasokan makanan pada kaum muslimin. 
Orang-orang Islam mulai menderita dengan sangat. Kelaparan di garis  depan perang pada saat musim dingin membuat pasukan muslim berjatuhan sakit.  Beberapa orang bahkan meninggal karena itu. Dua sahabat Rasul, Hasan bin Tsabit  dan Shafia binti Abdul Muthalib telah memergoki Yahudi yang memata-matai posisi  pasukan Muslim untuk dibocorkan pada musuh. Beberapa orang tentara lawan juga  telah menerobos parit, di antaranya Amir anak Abdul Wudud, Ikrima anak Abu Jahal  serta Dzirar bin Khattab. Untunglah Ali berhasil mematahkan perlawanan mereka. 
Muhammad menugasi dua pemimpin Muslim asli Madinah (Anshar) untuk  menemui para pemimpin Quraiza agar menghentikan pengkhiatannya tersebut. Mereka  adalah Sa'ad bin Mu'adz dari Bani Aus serta Sa'ad bin Ubadha dari Khazraj. Namun  Yahudi Quraiza menampik keinginan itu. Mereka akan terus memboikot sampai  tuntutannya dipenuhi.
Keadaan umat Islam semakin parah. Muhammad lalu  berdiri di bukit Sal dan berdoa praktis tanpa henti. Bahkan di saat udara sangat  dingin menjelang dinihari menusuk-nusuk tulangnya. Menurut riwayat, pada hari  ketiga -di saat kondisi Rasul itu sudah sangat menurun-tiba-tiba muncul badai  dingin yang luar biasa. Masyarakat Muslim dapat berlindung di pemukimannya  sendiri. Kaum Qurais dan kelompok-kelompok dari Ghatafan -yang dalam Quran  disebut "Al-Ahzab"-yang berada di tempat terbuka menjadi sasaran badai itu.  Pasukan itu hancur sama sekali.
Masing-masing orang bersusah payah  menyelamatkan diri. Usai peristiwa Khandaq, Muhammad menugaskan pasukan Muslim  untuk mengepung Yahudi Quraiza atas pengkhiatannya. Setelah beberapa hari,  Quraiza menyerah. Mereka minta agar hukuman yang dijatuhkan adalah pengusiran  dari Madinah, sama dengan hukuman bagi Bani Qainuqa dan Bani Nadzir terdahulu. 
Rasul mengatakan bahwa hukuman akan dijatuhkan oleh seorang hakim. Ia  berjanji tidak akan intervensi atau campur tangan. Orang-orang Quraiza berhak  memilih sendiri hakim tersebut. Saat itu pula, mereka memilih Sa'ad bin Mu'adz.  Pemimpin suku Aus yang sempat ditugasi Muhammad untuk bernegosiasi dengan  Quraiza itu sehari-hari memang cukup dekat dengan kalangan Yahudi. Namun, tanpa  diduga oleh semua, Sa'ad justru menjatuhkan hukuman mati bagi semua laki-laki  kelompok pengkhianat tersebut. Eksekusi pun dilakukan. Para perempuan dan  anak-anak dari keluarga Yahudi Quraiza itu lalu menjadi tanggungan umat Islam. 
Sejak saat itu, Madinah aman tenteram. Rasulullah lalu berkonsentrasi  untuk membangun peradaban masyarakat. Sebuah peradaban yang menjadi model dasar  bagi konsep "civil society" (masyarakat Madani) kini.n
sumber :  www.pesantren.net







0 komentar:
Posting Komentar