Minggu, Mei 22, 2011

Dongeng Jama'ah


Suatu waktu ketika hari pembalasan tiba, Malaikat menanti para manusia yang akan digilirkan dalam penghisaban untuk masuk ke surga atau neraka. Mereka datang dengan sendiri-sendiri dan ada juga yang berkelompok-kelompok sesuai dengan jamaahnya. Sebelum mereka masuk untuk dihisab Malaikat bertanya kepada setiap manusia, "hai Kamu dari jama'ah mana?" saya jamaah A pak Malaikat, jawab manusia. "ya silahkan masuk lewat pintu sini..." kata malaikat.

Malaikat terus mengabsen para manusia, ada dari jamaah A, B, C dan sebagainya, hingga sampailah pada seseorang manusia yg datang seorang diri.

Malaikat kemudian bertanya, "hai manusia, kamu dari jamaah mana?"

Manusia itu menjawab :"saya tidak dari jamaah mana-mana pak malaikat, saya seorang diri saja"

Malaikat :"loh?? kenapa begitu? kenapa kamu tidak masuk jamaah A, B, C atau lainnya??

Manusia : "Tadinya aku berada di jamaah A, Aku diberikan pendidikan keislaman dari jamaah A, tapi aku merasa ada yang tidak cocok dengan jamaah A. para qiyadah di jamaah A, sudah tidak berada pada jalan dakwah yang benar. Sangat berbeda dengan Rasulullah. dan akhirnya saya keluar deh dari jamaah A yang membesarkan saya"

Malaikat : "terus kenapa kamu tidak masuk jamaah B?"

Manusia : "saya kurang suka dengan jamaah B, cara berdakwahnya kurang saya minati, orang2nya juga saya tidak suka"

Malaikat : "jamaah C?"

manusia : "walaupun mengikuti Al qur'an dan hadits tapi ga seluruhnya.. anggotanya juga banyak yg mengecewakan saya"

Malaikat : "(bergumam : set dah ini manusia, dia pikir jamaah-jamaah itu jamaah malaikat kali ya?")

Malaikat : "Terus apa yang kamu lakukan seorang diri? bagaimana amal2 harian kamu dengan seorang diri? bagaimana dakwah yang kamu lakukan dengan seorang diri? Ada berapa orang yang kamu dapati kemudian kamu menyeru kebaikan kepada mereka dan mereka mengikuti? Sadarkah ketika Engkau berada seorang diri kemudian dihadapkan kepada perbuatan maksiat? sadarkah kau bahwa srigala lebih leluasa dan lebih berani memakan domba yang sendirian?". "Hai Manusia... kalian itu Jamaah Manusia, bukan jamaah malaikat seperti kami yang tidak ada khilaf, salah dan dosa. Jangan engkau banding-bandingkan apalagi disama-samakan qiyadah dalam jamaah kalian dengan Rasulullah SAW. Jangankan menyamai Rasulullah SAW, mendekati amalan-amalan para sahabat saja mungkin belum bisa."

Malaikat :"kalian itu jamaah manusia, bukan jamaah malaikat. kalian itu jamaah manusia, salah sedikit tidak mengapa karena kalian itu manusia bukan malaikat. Allah saja Maha Pemaaf, masa kamu tidak bisa memaafkan saudara2 kalian?? kemudian apakah amal2 mu lebih baik dari saudara2 kalian? kemudian apakah ketika kamu yg memimpin bisa lebih baik dari saudara2 kalian"

Manusia : "gitu ya pak malai?!?!?! hiks...hiks...hiks... iya saya sangat menyesal pak malai... ;("

***

Al Wafa secara bahasa bisa diartikan kesetiaan, loyalitas, keikhlasan, amanah. Namun, jika diartikan secara sederhana adalah "Kacang Tidak Lupa Kulitnya"

Makna Al Wafa yang lain adalah menepati janji. Semisal akad jual beli, akad nikah, akad dengan saudara kita, akad dijalan dakwah dan sebagainya.

itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.; sesungguhnya Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah (Al Isro : 34)

Salah satu ciri-ciri orang yang bertaqwa adalah orang yang memenuhi janjinya. Orang yang wafa dan orang yang bertakwa sudah pasti orang yang mukmin (arkanul iman), muslim (arkanul islam) dan muhsin (selalu berbuat baik).

Ingat-ingatlah janji kita :

- Kepada Allah SWT

- Kepada Rasulullah SAW

Sudahhkah kita selalu memenuhi janji kita kepada Allah, yang sederhana saja, apakah ketika panggilan Allah berkumandangapakah kita selalu tepat waktu berjamaah di masjid?

- janji kepada gerakan da'wah yang kita aktif didalamnya.

dimanapun kita berada, dalam jamaah apapun kesetiaan harus tetap di munculkan. Jangan bandingkan Rasulullah dengan Ikhwah-ikhwah kita.

-janji kepada teman sejawat

dan sebagainya..

"Ya Allah Kuatkanlah Gantunganku hanya pada-Mu saja, tidak dengan Manusia"

Wallahualam..


23 Mei 2011 jam 10:37

Bunga Cantik di Tengah Padang Rumput


Siapa di antara anda yang belum pernah mendengar pepatah yang mengatakan “Tak kenal maka tak cinta?”. Tentu semuanya sudah pernah mendengarnya, baik pada waktu pelajaran peribahasa di Mata Ajaran Bahasa Indonesia atau dalam pergaulan sehari-hari karena pepatah ini kerap kali digunakan orang. Sekarang, malah ada sedikit perubahan dan penambahan kata dalam pepatah tersebut. Yaitu menjadi "Tak Kenal Maka TaĂ‚’aruf."

Berbedakah keduanya ?

Dari kedua kalimat tersebut, sebenarnya ada perbedaan arti meski hanya sedikit dan tipis sekali. Taruh sebuah permisalan. Jika anda bertemu dengan seseorang yang tidak anda kenal sama sekali, tentu anda ingin mengenalnya lebih jauh dan keinginan untuk mengenalnya itu begitu kuat muncul dalam diri anda. Anda ingin tahu siapa namanya, dimana dia tinggal, apa kegiatannya dan segala sesuatu yang menyelingkupi kehidupan teman baru anda itu. Dalam kondisi seperti ini maka pepatah ‘yang baru’ akan diterapkan, “Tak Kenal Maka TaĂ‚’aruf.”

Tahukah anda bahwa sebenarnya dalam proses perkenalan itu telah terjadi sebuah proses lain yang juga berkembang dalam diri kita. Yaitu sebuah proses pemilahan kelompok teman. Pada waktu kita mulai melancarkan rangkaian pertanyaan padanya tanpa kita sadari yang kita cari adalah kesamaan dan kesesuaian dalam beberapa hal yang sekiranya akan menjadi perekat perkenalan tersebut.

“Eh.. suka baca buku nggak ?” atau “Oh, kamu tinggal disana yah ? Hmm, aku punya teman di sana, kenal sama A nggak yah, dia tinggal di blok Z.”

Proses perekat hubungan inilah pada banyak orang diartikan sebagai sebuah proses “Tak Kenal maka Tak Cinta.”. Tidak ada yang menyadari bahwa sebenarnya tidak melulu arti pemahaman sebuah perkenalan akan berakhir dengan sesuatu yang manis seperti yang diharapkan dalam pepatah tersebut. Ada kalanya, setelah sebuah perkenalan terjadi, lalu pengenalan diri masing-masing berlanjut pada hal yang lebih jauh, sebuah hubungan ‘perkenalan’ bisa jadi ikut berakhir pula seiring dengan perpisahan yang terjadi dalam sebuah pertemuan. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Sudah menjadi sebuah kebutuhan manusia untuk dapat memperoleh kepercayaan dan rasa aman dalam dirinya. Inilah yang terjadi dalam proses pemilahan kelompok teman yang baru kita kenal. Yup. Ada sebuah proses lain dalam sebuah perkenalan yang tanpa kita sadari telah menggiring kita untuk melakukan sebuah pemilahan yang sangat bersifat subjektif karena kebutuhan kita akan rasa percaya dan dan rasa aman tersebut.

Tanpa kita sadari kita mulai melakukan pemilahan dan pencarian data apakah dia cukup bermanfaat sebagai seorang teman ataukah tidak, ada sebuah istilah yang mungkin lebih pas tapi konotasinya pada beberapa orang mungkin menyakitkan telinga yang sensitif, yaitu “seberapa pantas orang yang baru anda kenal itu bisa menjadi teman anda”.

“Seberapa pantas…”, terdengar sangat arogan dan tidak bersahabat yah? Tapi meski terdengar sangat tidak sopan, memang itulah yang sesungguhnya terjadi dalam sebuah proses perkenalan. Dalam alam pikiran sederhana, bagaimana mungkin kita akan bisa meletakkan rasa percaya kita pada seseorang yang tidak kita kenal? Dalam alam pikiran sederhana, bagaimana mungkin kita akan merasa aman pada seseorang yang tidak kita kenal? Sekali lagi, dalam alam pikiran sederhana, bagaimana mungkin kita akan memberikan rasa sayang, rasa cinta kita pada seseorang yang tidak kita kenal. Bukankah “Tak kenal maka Tak Cinta ?”

Dan disinilah letak ketertakjubanku pada peristiwa yang aku alami yang justru membuatku berpikir, tidak selamanya mungkin sebuah pertemuan dengan seseorang yang kita belum kita kenal akan melahirkan keinginan untuk ta’aruf, dan rasa sayang bisa saja terjadi tanpa didahului sebuah perkenalan yang memuat sebuah isian biodata yang harus diisi dalam blangko pencernaan pikiran biasa (tanya nama, alamat dan sebagainya).

Peristiwa yang pertama adalah sebuah peristiwa di sebuah bis kota yang melaju lamban di jalan raya yang macet di pinggir kota Jakarta yang memang sudah sangat padat setiap jalur badan jalannya dengan kendaraan yang berseliweran setiap harinya.

Hari cukup panas ketika itu dan bau keringat penumpang mulai menyebar menimbulkan sebuah perasaan tidak nyaman. Di sebelahku duduk seorang gadis berjilbab yang bertubuh agak besar. Dia sedang asyik membaca sebuah buku. Kulirik buku di tangannya dan mengenalinya sebagai salah satu buku yang sering aku lihat di pajang di toko buku.

Secara iseng (sungguh ini pertanyaan iseng karena aku mulai jenuh dengan masa menunggu kemacetan lalu lintas) aku mulai bertanya tentang apa judul buku yang dia baca. Gadis itu memperlihatkan judulnya padaku. Lalu aku mulai melontarkan pertanyaan apa isi buku tersebut dengan gaya sok akrab dan gadis itu melayani pertanyaanku dengan sabar dan penuh senyum.

Hmm, tampaknya dia mulai mengerti akan ketidak nyamanan yang aku alami dalam bis kota yang padat itu dan keterasingan untuk segera terbebas dari tempat dudukku yang keras sehingga dengan penuh keikhlasan gadis itu memberikan waktunya untuk menjawab pertanyaanku. Tanpa kami sadari kami terlibat sebuah diskusi menarik dan asyik.

Aku memang senang membaca dan lebih senang lagi jika diajak seseorang untuk bertukar pikiran tentang sebuah topik dari sebuah materi yang pernah aku baca atau aku ketahui. Hingga tak terasa tujuan akhir telah tiba. Gadis itu harus turun lebih dahulu dariku dan apa yang dia lakukan kemudian membuatku cukup ternganga dan sangat berkesan pada pertemuan dengannya.

“Aku ingin memberikan buku ini padamu.”

Subhanallah. Aku tahu dalam pembicaraan kami tadi bahwa buku itu belum dua jam yang lalu dibelinya di toko buku. Bahkan sampai halaman pertengahan pun gadis itu belum usai membacanya. Bagaimana mungkin dia akan memberikannya begitu saja padaku padahal tadi baru saja dia katakan bahwa dia menginginkan buku itu sejak lama sehingga dia menabung sedikit demi sedikit uang sakunya untuk dapat membeli buku itu.

“Tidak. Aku tidak menginginkannya. Buku itu milikmu, kamu belum selesai membacanya, bacalah dulu sampai selesai.” Aku menolaknya dengan keras.

“Tapi aku ingin memberikan buku ini padamu.” Gadis itu tetap bersikeras.

“Tidak.“

“Terimalah. Anggap ini hadiahku untukmu, kamu memang pantas menerimanya. Ayo, terimalah buku ini sebagai kenang-kenangan dariku karena aku tidak tahu kapan lagi kita akan bertemu di waktu yang akan datang.”

Duhai. Kalimatnya menimbulkan rasa haru yang mendalam, aku termangu sejenak tapi segera tersadar bahwa ini bukan saat yang tepat untuk jadi melankolis. “Tidak. Aku tidak bisa menerimanya.”

“Terimalah hadiahku ini. Kamu belum membacanya kan, bacalah, aku sudah membacanya sebagian dan isinya sangat menarik, sedangkan kamu belum membacanya sama sekali, aku ingin kamu membacanya juga dan bacalah sampai akhir.”

“Kenapa?“ Aku bertanya dengan bodoh. Sungguh aku tidak tahu kenapa gadis itu bersikeras memberikan buku barunya padaku.

“Kenapa kamu ingin memberikan buku barumu padaku, padahal kamu menginginkan buku ini sejak lama. Kenapa?”

“Karena aku sayang padamu. Aku ingin memberikan yang terbaik untukmu dan saat ini yang aku miliki adalah buku baruku ini. Percayalah padaku bahwa aku menyayangi kamu karena Allah semata sehingga jika saat ini kamu menginginkan yang lain dariku, seperti mataku, rambutku, tanganku, semua akan kuberikan padamu detik ini juga karena aku sayang padamu karena Allah semata.”

Aku makin ternganga. Belum ada satu jam kami berbincang dan diskusi tapi rasa sayang yang dia miliki padaku sudah demikian mendalamnya sementara namanya saja aku sama sekali tidak tahu karena dia memang hanya kujadikan seorang teman untuk membunuh waktu jenuhku di dalam kendaraan tersebut.

Ada sebuah rasa haru yang kian membuncah dalam dadaku mendengar untaian kalimat terakhirnya sekaligus melahirkan sebuah dorongan untuk menerbitkan mutiara bening dari sudut kelopak mataku. Aku tidak sanggup berkata apa-apa karena terbalut haru dan buku itu sudah berpindah tangan, diletakkan gadis itu di dalam genggamanku sementara dia bersiap untuk turun dari kendaraan. Pada perhentian selanjutnya gadis itu mulai berdiri menepi.

“Mbak..makasih yah. Aku tidak tahu bagaimana harus membalasnya bahkan kita belum sempat berkenalan. Mbak juga tidak tahu siapa aku.” Gadis itu hanya tersenyum ramah mendengar kalimatku yang mungkin terdengar sangat bodoh.

“Itu tidak penting. Yang aku tahu kamu adalah saudariku dalam islam. Semoga kita bisa bertemu di lain kesempatan dengan masing-masing dalam kondisi yang lebih baik.”

Kemudian bis berhenti dan setelah mengucapkan salam, gadis berjilbab itu melesat turun sambil melambaikan tangannya padaku. Aku membalas salamnya sambil tersenyum dan setelah dia menghilang dari pandanganku aku mulai membaca judul bukunya.

“Menjadi Muslimah yang kaffah.”

Hmm, mungkin dia memberikan buku itu karena aku belum berjilbab. Yup. Kejadiannya memang sudah lama sekali, sewaktu aku masih kuliah dulu dan masih banyak mempertimbangkan banyak hal sehingga belum timbul keinginan kuat untuk menutupi auratku secara lengkap dengan sebuah hijab yang semestinya.

Aku sangat terkesan dengan peristiwa itu karena di kampus, teman-teman akhwat lain lebih banyak yang memilih untuk tidak menaruh kepercayaan dan kasih sayang sebesar seperti yang diberikan oleh gadis tadi. Di kampus mereka memberlakukan sebuah jarak dalam membina hubungan denganku yang notabene sebenarnya memiliki agama yang sama dengan mereka hanya saja aku belum berjilbab. Image muslimah sebagai sebuah kelompok eksklusif dalam kepalaku telah hancur lebur dalam hitungan detik dengan kehadiran gadis berjilbab itu.

Sekarang aku alhamdulillah sudah mengenakan jilbab, sudah berkeluarga dan sudah dikaruniai dua orang jundi yang manis. Kesibukan sehari-hari dalam urusan pekerjaanku sebagai ibu rumah tangga hampir tidak menyisakan waktu luang bagiku. Lebih dari itu, kadang timbul sebuah proses pemilihan teman dalam bergaul yang terus terjadi tanpa aku sadari.

Jika ibu-ibu lain di sekitar rumahku sering berkumpul di depan pagar rumahnya maka bisa dikatakan aku jarang sekali ikut berkumpul dengan mereka. Jika ada acara pertemuan antar ibu-ibu di lingkungan rumahku, entah itu arisan rt, pengajian bulanan, pertemuan bulanan antar warga, atau bahkan acara resmi seperti selamatan atau kenduri, bisa dipastikan aku hanya hadir pada saat acara resmi itu berlangsung saja. Setelah acara resmi selesai, ketika piring gelas mulai dikumpulkan di tengah tikar, aku memilih untuk segera mengundurkan diri ketimbang ikut bergerombol bersama ibu-ibu yang lain membuat pembicaraan dan acara baru di luar acara inti.

Hmm, aku tetap berusaha untuk bergaul akrab, ikut tersenyum dan bersenda gurau atau berdiskusi dengan teman-teman ibu-ibu rumah tangga yang lain dalam konteks acara yang aku ikuti masih berlangsung. Setelah itu, setelah acara itu selesai, aku lebih memilih untuk mengundurkan diri lebih karena alasan menghindari kemudharatan.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi apa yang dilakukan oleh para ibu-ibu rumah tangga jika mereka berkumpul dan mulai saling bercengkerama di luar sebuah acara yang terkoordinir. Mereka akan membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat dan inilah yang aku hindari. Terlibat dalam pergaulan seperti itu bagiku seperti memakan sebuah buah simalakama. Dimakan dalam arti kita melibatkan diri; kita akan terpengaruh dengan atmosfere mereka karena mau tidak mau kita akan mengeluarkan suara dan terlibat dalam pembicaraan mereka yang kelak kita akan menyesalinya sendiri. Pilihan kedua adalah tidak memakannya, yaitu kita tetap diam jadi pendengar dan itu artinya kita membiarkan isi pembicaraan mereka itu akan masuk ke telinga kita tanpa sebuah perlawanan, mengendap di dalam hati dan secara tidak sadar akan menimbulkan sebuah diskusi dengan diri sendiri yang lebih banyak melahirkan sebuah su'udzon dan ketidak nyamanan.

Ada sebuah pembenaran yang aku pegang dalam keputusanku untuk melakukan apa yang menurutku saat ini baik bagiku, yaitu mencegah sebuah kemudharatan itu lebih utama ketimbang menyebarkan manfaat. Hmm, benarkah pembenaran ini? WallahuĂ‚’alam.

Nah, dalam kesibukan memilih teman dalam pergaulan sehari-hari itulah terjadi peristiwa kedua yang juga sangat menyentuh hati dan memberi kesan yang sangat mendalam bagiku. Kejadiannya terselip dalam peristiwa rutinitas sehari-hari dan dalam waktu yang tidak terduga. Yaitu waktu shubuh.

Ada sebuah kebahagiaan tersendiri yang aku rasakan menjelang waktu shubuh. Yaitu kesempatan untuk berjalan menikmati suasana damai menjelang shubuh berdua saja dengan suamiku. Masjid tujuan kami letaknya lumayan jauh dari rumah dan waktu yang terhampar di selang perjalanan menuju masjid itu biasanya diisi dengan percakapan ringan yang lepas dari rasa kesal, jenuh dan bosan akan rutinitas pekerjaan dan kegiatan.

Yang ada hanyalah senda gurau atau curhat yang diiringi nasehat ringan diseling canda. Biasanya, setelah melakukan shalat shubuh berjamaah di masjid kami segera bergegas menuju rumah karena tugas rutinitas sehari-hari telah menunggu. Itu sebabnya waktu berangkat menuju masjid itu menjadi lebih istimewa (menjadi makin istimewa karena kadang kesehatanku yang sering terganggu dan kemalasan akibat kelelahan akan tugas sehari-hari membuat acara manis ini menjadi kian sulit dilakukan).

Hari itu, seperti biasa aku segera melipat perlengkapan shalatku dan mulai bersiap-siap untuk pulang ketika ada seseorang yang menyapaku. Seorang wanita tua yang tampak tersenyum dan memberiku salam. Aku membalas salamnya sambil ikut tersenyum.

“Apa kabar nak? kenapa sudah lama sekali tidak kelihatan?” sambil beringsut, aku mendekati ibu tua itu dan duduk di hadapannya sambil menyalaminya dengan sopan.

“Sakit bu. Saya sudah beberapa hari ini sakit jadi tidak bisa pergi kemana-mana termasuk ke masjid ini. Tapi alhamdulillah sekarang sudah sehat kembali. Ibu sendiri gimana kabarnya?”

“Alhamdulillah sehat nak.” Ibu itu masih memandangiku sambil tersenyum lembut sekali. Tiba-tiba dia meraih kedua pergelangan tanganku dan memegangnya dengan sangat erat.

“Ibu rindu sekali melihat kedatanganmu.. sudah hampir setengah bulan tidak melihat kamu hadir di sini.” Aku hanya tersenyum tapi dalam hati tak urung heran. Setengah bulan, artinya ibu itu menghitungnya. Artinya lagi, ibu ini tentu jamaah tetap di kala waktu shubuh di masjid ini…wah… bagaimana aku bisa tidak tahu akan kehadiran ibu ini setiap kali aku shalat disini. Hmm, mungkin karena aku selalu tergesa untuk pulang karena memikirkan pekerjaan rumah tangga yang terasa sudah antri untuk dikerjakan. Duh, betapa tidak pedulinya aku pada lingkunganku selama ini. Kalimat ibu itu mulai terasa seperti sindiran bagiku.

“Ibu selalu berdoa agar kamu sehat nak… sungguh, ibu mencintai kamu karena Allah dan selalu berharap bisa bertemu kamu di sini, di masjid ini meski ibu sendiri juga tidak yakin karena ibu sudah sangat tua dan makin rapuh.”

Subhanallah….
Kali ini aku sungguh-sungguh merasa terharu. Selama ini aku tidak pernah memperhatikan apa yang terjadi pada lingkungan sekitarku. Aku sibuk dengan urusan keseharianku sendiri, aku sibuk dengan diriku sendiri sedangkan ibu tua di hadapanku, yang mungkin hidupnya lebih susah, lebih kompleks permasalahannya, lebih rumit hal tentang kesehariannya, tetap memiliki kemampuan untuk memperhatikan lingkungannya.

Hmm.. tahukah anda. Kedua peristiwa berkesan di atas itu sebenarnya sebuah nasehat yang sangat manis dari Allah untukku. Subhanallah. Kadang, sebuah nasehat itu tidak melulu hanya berupa sebuah tausiyah panjang lebar tentang hamparan hadits dan ayat.

Sebuah nasehat bisa juga berupa perbuatan. Sama seperti perbuatan gadis berjilbab di bis kota di atas. Dengan memperlihatkan keramahan dan kesantunan serta keikhlasannya (sampai sekarang aku tidak pernah sekalipun lagi berjumpa dengannya, semoga Allah merahmatiNya selalu, amin), aku jadi tergugah akan keindahan ukhuwah dalam islam dan kemanisan budi pekerti muslimah sesungguhnya. Lebih dari itu, muncul semangat untuk benar-benar mewujudkan jati diri sebagai “Muslimah yang kaffah”, seperti nasehat yang diberikan dalam buku yang diberikannya secara cuma-cuma padaku.

Begitu juga dengan ibu tua di dalam masjid itu (hik..hik..aku tidak pernah berjumpa lagi dengannya, dan aku sampai detik ini tidak tahu siapa namanya, dimana dia tinggal dan informasi apapun tentang dia. Semoga beliau tetap dalam lindungan Allah SWT). Dengan kelembutan seorang ibu yang bijak, dia mengingatkan aku agar merindukan “masjid” selalu sesibuk apapun kegiatanku... ibu itu juga mengingatkan aku bahwa penilaian akan lingkunganku selama ini sebenarnya tidak selamanya benar. Bukankah di tengah hamparan rumput hijau di tengah padangpun selalu terselip bunga berwarna cantik yang harum baunya meski keberadaan bunga tersebut kecil mungil nyaris tak terlihat?

Kehadiran mereka berdua adalah penyejuk dahaga di tengah perjalanan panjang dan membosankan karena keterasingan yang monoton.
Kehadiran mereka adalah pendorong semangat ketika ghirah mulai kendur karena rutinitas keseharian yang mulai menegangkan urat syaraf. Hmm.. wallahuĂ‚’alam.

Aku jadi teringat sebuah hadits yang mengatakan bahwa :
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Dari kitab shahih Muslim, yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik).

Begitu besar rasa persaudaraan yang terkandung dalam hadits tersebut hingga tidak ada pemilahan kelompok di dalamnya yang berdasarkan pada beragam suku, ras, golongan, bangsa dan warna kulit. Semuanya adalah keluarga. “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (al Hujurat:10).

Mencintai disini adalah menginginkan segala kebaikan yang dia miliki untuk turut pula dirasakan oleh saudaranya.

“Demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai kebaikan dirinya sendiri.” (Dari riwayat Nasa’i).

Kebaikan disini adalah kebaikan “menurut syariat” seperti ilmu yang bermanfaat, amal yang shaleh, dan akibat yang positif. Tidak ada tempat di sini untuk penilaian yang bersifat subjektif yang sering kita berlakukan jika kita memilih teman tanpa kita sadari. Sama seperti nasehat halus yang diberikan oleh gadis di bis kota itu padaku. Sementara teman-teman akhwat menolak kehadiranku yang “berbeda” dengan mereka yang berjilbab lebar, maka gadis itu dengan penuh keikhlasan mengajarkan aku arti ukhuwah sesungguhnya dan tanpa sadar memberiku semangat untuk “mengenal islam (agama perdamaian) lebih jauh”. Subhanallah.

Semoga kita semua bisa belajar untuk bisa pula menjadi suri tauladan seperti kedua tokoh “nyata” yang aku temui di dalam hidupku itu. Sungguh Maha Kuasa Allah yang telah memberiku pelajaran yang sangat berharga.

“Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau.
Engkau yang menciptakan ku dan aku adalah hambaMu.
Aku terikat dalam perjanjian dengan-Mu sekemampuanku.
Aku berlindung kepada-MU dari segala kejahatan yang telah aku lakukan.
Aku mengakui nikmat-nikmat-MU kepadaku dan aku mengakui dosaku, maka ampunilah aku, karena tak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa, kecuali engkau” (HR. Bukhari)

Ade Anita


kafemuslimah.com

Perempuan Pilihan Itu Telah Pergi: Selamat Jalan, Saudariku Yoyoh Yusroh...


Oleh: Pipiet Senja*

Obituari

Tokoh nasional yang memiliki buah hati 13 orang ini sungguh figur yang patut diteladani oleh kita. Meskipun supersibuk sebagai anggota legislatif, ia tetap dapat merancang kebersamaan bersama suami dan semua anak demi memelihara cinta kasih, dan keharmonisan keluarga besarnya.

....

Kemarin, 21 Mei 2011, kita tersentak mendengar kabar dukacita, beliau pergi mendahului kita. Yoyoh Yusroh meninggal dalam kecelakaan mobil bersama dengan suami dan anak-anaknya yang saat itu sedang dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Jakarta setelah menghadiri acara wisuda anaknya di UGM. Mobil Inova hitam yang ditumpanginya terguling saat melaju dengan kecepatan tinggi. Diduga karena sopir yang mengendarainya mengantuk dan slip hingga mobil hilang kendali saat melintas di tikungan jalan tol Tegal Karang, Cirebon. Yoyoh Yusroh yang juga ibu dari 13 anak tersebut sudah tidak tertolong lagi, Yoyoh Yusroh tewas dalam kecelakaan tersebut, sedangkan suami dan anak-anaknya saat ini masih sedang dalam perawatan.

Jenazah Yoyoh Yusroh tiba dari rumah duka di Kompleks perumahan DPR di Kalibata, Jakarta Selatan, sekitar pukul 14.30 WIB. Jenazah tiba di RT 1/RW 1 No 54, Kelurahan Belendung, Kecamatan Benda, Kota Tangerang.

....

Saya dan keluarga sedang dalam perjalanan menuju Sumedang. Sungguh nyaris tak percaya, hingga saya beberapa kali melakukan cek-ricek kepada beberapa sahabat dekatnya di kalangan liqo. Sepanjang perjalanan, seperti orang bodoh, saya berharap kabar itu hanya isu belaka. Rasanya baru kemarin saya bicara dengan salah seorang asistennya, minta dibuatkan janji untuk jumpa. Biasanya saya bisa langsung berhubungan melalui ponsel, hanya ponselku dicuri orang jadi banyak nomer yang lenyap.

Dan jam berapapun, jika saya SMS, biasanya pula senantiasa dijawab seketika. Yoyoh Yusroh, bagiku bukan sekadar sosok legislatif, aktivis parpol yang supersibuk, melainkan sebagai sosok ibu umahat, ibu dari ibu-ibu taklim yang sangat peduli, terutama terhadap perkembangan kaum perempuan dan anak-anak.

Secara pribadi saya sempat begitu dekat dengan sosok muslimah yang satu ini, sejak 2006. Kepadanyalah saya sering curharatan mengenai berbagai hal, karya, bahkan urusan perkawinan. Ketika kondisi saya terpuruk, baik secara finansial maupun fisik, hingga saya dan anak-anak terdepak dari rumah yang selama itu kami huni. Maka, hanya dialah, Saudariku inilah yang berkenan mengulurkan tangan dengan ikhlas dan tulusnya.

“Silakan, Teteh, tempati saja rumah kami di Depok Timur itu, terserah sampai kapan saja,” ujarnya dalam nada yang sangat ikhlas, bahkan dia langsung mengantarkanku sampai kawasan Pasar Minggu.

Suaminya, Pak Budi Darmawan bersikeras mencegatkan dulu sebuah taksi untuk saya, serta telah diberikan ongkosnya sampai rumah mereka di Depok Timur. Subhanallah, sungguh pasangan suami-istri yang luar biasa!


***

Berikut adalah hasil bincang penulis dengan Umi Umar, demikian teman-teman di taklim biasa menyebutnya, suatu siang di kawasan Mampang Prapatan. Tulisan ini telah dibukukan dengan judul 30 Perempuan Pilihan Wanita Penulis Indonesia, 2010, Penerbit Zikrul Hakim, Jakarta.

“Alhamdulillah, saya bersyukur dilahirkan dalam keluarga yang sangat concern dengan pengamalan syariat Islam. Ayah saya namanya Abdul Somad, seorang guru mengaji, penceramah pada hari-hari besar Islam, dari surau ke surau, mesjid ke mesjid dan taklim ke taklim di sekitar kampung halaman saya, Batuceper Tangerang. Ayah mengajak saya untuk aktif, kemudian melatih saya pidato dengan teks terjemahan dari Arab Melayu, itu terjadi sejak saya duduk di bangku SD. Ayah sering melatih saya bagaimana caranya menyampaikan ceramah dengan baik, memikat, berkomunikasi dengan massa.” Demikian ustazah Yoyoh Yusroh mengawali perbincangan kami yang akrab, ada makanan dan minuman segar di hadapan kami.

Waktu itu saya belum berjilbab, masih pakai rok biasa dan kerudung. Saya berdiri di hadapan ibu-ibu dan bapak-bapak di majlis taklim besar, banyak sekali tuh orangnya. Kebanyakan teman saya itu murid-murid dan rekan-rekan Ayah mengaji, bahkan guru-gurunya. Ya, saya jadi akrab dengan mereka kalangan pengajian, dan mereka mengenal saya sebagai mubalig cilik.

Sedangkan peran Ibu, Aminah, sebagai guru mengaji sangat mendukung. Ibu selalu menekankan saya untuk sering-sering mengaji Al Quran. Ketika bulan Ramadhan, saat saya ingin membantunya di dapur membuat penganan. Ibu akan mengatakan; “Sudahlah, Nak, sana pergi saja mengaji. Bikin kue sih nanti juga bisa, gampang dipelajari.” Logikanya kan, kalau saya membaca Al Quran, Ibu juga yang akan mendapat pahalanya. Kalau bulan suci Ramadhan kita targetkan khatam lima sampai enam kali. Gemar dan cinta membaca Al Quran sejak kecil. Meskipun belum paham artinya, seperti Al Kahfi, Al Muluk, Al Waqiyyah saya sudah hafal sejak kecil. Ibu menekankannya, karena itu adalah sunah Rasulullah Saw.

Peran Ibu dan Ayah sangat besar dan berpengaruh untuk perkembangan pribadi, pendidikan dan kondisi saya hingga sekarang. Saya berharap dapat menyempurnakan dan meningkatkan kualitas keimanan serta ketakwaan hingga akhir hayat. Iman, amal dan ketakwaan itu kan tidak berlaku surut, melainkan harus terus berkembang, dan meningkat ke taraf lebih tinggi. Demikian bila kita ingin akhir hayat kita dalam khusnul khatimah.

“Saya tidak hafal seluruh Al Quran, tapi insya Allah, banyaklah,” ujarnya merendah, meskipun di kalangan tarbiyah beliau dikenal sebagai hafidzoh.

Cita-cita Waktu Kecil

Saya senang baca. Ayah saya juga suka membacakan tentang kisah Nabi dan para sahabat. Waktu SD saya ingin menjadi sejarahwan. Makanya, waktu masuk Fakultas Adab IAIN saya ambil jurusan Sejarah Islam. Saya bersekolah di sekolah-sekolah umum bukan di pesantren. SD dan SMP Negeri, lalu ke PGA pertama di Tangerang, dan ke PGA lanjutannya di Pondok Pinang, kemudian ke IAIN Ciputat.

Peran Sebagai Pendidik

Sejak sebelum mengenal tarbiyah, saya sudah aktif di organisasi-organisasi Islam seperti Pelajar Islam. Banyak sekali untungnya dalam berorganisasi, antara lain peningkatan wawasan dan banyak teman. Sangat positif memiliki banyak teman bagi saya yang tak pernah memilih-milih siapa teman. Memang ada plus-minusnya dalam pergaulan. Tapi ada saja kelebihan seseorang itu meskipun umpamanya dia memiliki sifat negatif. Demikian pula saya mungkin punya sikap negatif. Jadi kalau berteman kita bisa saling mengingatkan, saling meluruskan dan saling menguatkan. Insya Allah lebih banyak plusnya kalau kita banyak teman.

Kalau ada teman-teman yang ingin diajari mengaji oleh saya. Yah, insya Allah saya tidak menolak, kecuali kalau saya memang betul-betul tidak ada waktu, atau jadwalnya bentrok. Kalau saya tidak cukup waktu untuk mutabaah atau evaluasinya, biasanya akan saya alihkan kepada teman-teman lain.

Peran Sebagai Ummahat

Alhamdulillah sebagai ibu Allah telah mengaruniai saya 13 orang anak yang saya syukuri semua. Anak pertama laki-laki, kuliah di UGM, Fakultas Ekonomi semester 9. Umurnya hampir 22 bulan Desember nanti. Anak ke-2 laki-laki, awalnya kuliah di FE UGM juga, terus mendapat tawaran beasiswa dari televisi Turki untuk belajar pada Internasional Of University di Sarajevo, Bosnia. Sekarang belum ada jurusan, tapi dia cenderung ambil Hubungan Internasional. Dia bisa menghemat program studi bahasa Inggris yang seharusnya 8 bulan menjadi hanya 2 bulan, alhamdulillah.

Anak ke-3 perempuan, semester 5 di Fakultas Pertanian, UGM. Anak ke-4 laki-laki, diterima di program studi tingkat SMA atau Mahad, program Al Azhar di Mesir. Anak ke-5 laki-laki, di SMKN Yogyakarta. Anak ke-6 laki-laki, di pondok pesantren Gontor. Anak ke-7 perempuan, di As-Syifa Al Hairiyah, SMIT sekolah punya Qatar. Anak ke-8 laki-laki, di Al Hikmah Citayam yang belum lama ini hafidz Al Quran 30 juz. Anak ke-9 laki-laki, SDIT Al Hikmah Citayam, baru 5 juz hafal Al Quran. Anak ke-10 laki-laki, di Al Hikmah juga, ya, tiga orang sekolah di boardingschool Citayam itu. Anak ke-11 laki-laki, kelas 2 di SDIT Insan Mandiri. Anak ke-12 perempuan, kelas 1 di Jakarta Islamicshool. Si bungsu perempuan 4,5 tahun di TK Kecil. Anak laki-laki 9 anak perempuan 4 orang. Di semua tingkatan SD itu ada mulai kelas enam sampai kelas satu.

“Suka lupa gak ya Umi dengan nama anak-anaknya?”

“Alhamdulillah, gaklah, Teh,” sahutnya sambil tertawa tersipu. “Yah, yang anak perempuan kadang suka manggilnya salah. Keempatnya namanya kan sama lima suku kata. Jadi, Mamamamima…” lanjutnya dengan derai tawa, perpaduan antara rasa syukur nikmat dengan keharuan, dan kebahagiaan seorang ibu.

Peran Sebagai Istri

Menikah l985, alhamdulillah, suami sangat mendukung saya dalam semua kegiatan dakwah. Waktu itu kami sama-sama masih sarjana muda. Suami dari Fakultas Psikologi Unversitas Indonesia. Oya, tentang poligami itu… Seperti sudah sering saya sampaikan ke media, bahwa poligami itu sudah ada sejak zaman Rasulullah. Allah menciptakan kaum lelaki itu bervariasi. Memang ada yang berkapasitas memiliki istri lebih dari satu. Kalau kita paham bahwa suami mempunyai kapasitas lebih dari satu istri, dan kalau madu kita itu bisa diajak sebagai mitra dakwah, yah, mengapa tidak kita tak saling berbagi? Saya tidak keberatan sebagai satu solusi social. Dan poligami sebagai satu nilai itu tidak boleh membantah. Adapun mampu atau tidak dia melaksanakannya itu adalah lain hal. Yang diekspos kan kebanyakan poligami yang menimbulkan ekses. Padahal kan banyak sekali yang berpoligami yang tidak menimbulkan ekses, tapi tidak diekspos. Saya pribadi dari awal sudah setuju kalau suami akan berpoligami, itu sudah bukan masalah.

Kiprah Dalam Dunia Politik

Kalau politik praktis, dulu ayah saya PPP. Saya sering diajak kampanye di panggung-panggung untuk kemenangan PPP. Ayah saya sering dipanggil pihak berwajib, bahkan keluar-masuk tahanan karena vokalnya. Misalnya bicara lantang tentang Keluarga Berencana. “Walaupun Pemerintah menyuruh kita ber-KB, tapi Al Quran tidak!” Dan itu disuarakannya di taklim-taklim, dengan menerapkan langsung dalam kenyataan. Padahal masa-masa itu Pemerintah Orba sangat represif. Masih segar dalam benak saya, malam-malam pihak keamanan mengetuk pintu.

“Anda semua siapa?” tanya Ayah dengan gagah berani.

“Kami keamanan akan mengambil Bapak untuk ditahan!”

“Oh, kalau dari keamanan seharusnya tidak malam-malam begini datang menangkap orang. Lihat, anak-anak saya ketakutan. Besok saja saya akan datang sendiri!” ujar Ayah tegas, pihak keamanan pun berlalu. Ayah orangnya konsisten, meskipun dilarang oleh Ibu, Ayah tetap datang dengan bersepeda ke Polsek Batuceper, Tangerang. Ada beberapa kali begitu saja, keluar-masuk tahanan. Saya sangat terpengaruh dengan perjuangannya. Dari kecil sudah terbayang bagaimana dunia politik itu. Eee, tapi tak pernah terbayang loh, kalau sekarang menjadi anggota DPR.

Di Partai Keadilan Sejahtera, saya termasuk salah satu dari 50 orang Dewan Pendiri. Saya pikir, politik adalah suatu keniscayaan sebagai seorang Muslim. Ketika kita menyerahkan pemerintahan kepada orang-orang yang tidak kuat untuk mensejahterakan rakyat, memperjuangkan keadilan, maka demikianlah kondisi negeri ini. Kita berharap kekayaan Indonesia yang begitu besar dapat dikelola dengan, didistribusikan secara merata. Negeri ini sudah kaya raya, tapi salah urus, sehingga kesenjangan antara si kaya dengan si miskin sangat tinggi. Sebelum menjadi anggota Dewan saya tidak tahu tidak sejauh ini, tapi setelah tahu suka prihatin sekali melihat kondisi umat, kondisi bangsa yang tidak mendapatkan hak-haknya. Karena terhalang oleh kedzaliman orang-orang tertentu yang memperkaya diri dan kelompoknya.

Dalam parlemen yang tidak homogen, semua punya kepentingan. Kita juga tidak menafikan masih ada orang-orang yang baik di partai lain. Mereka yang bisa diajak kerjasama, tapi lebih banyak lagi (dalam banyak hal) yang tidak sependapat dengan keinginan kita. Kadang-kadang dalam posisi tertentu, umpamanya dalam pengesahan undang-undang, kita tidak sependapat tapi memberikan catatan-catatan. Misalnya tentang undang-undang sumber daya air, undang-undang APBN 2006-2007. Kita ikut kaukus antikorupsi, anggaran pendidikan 26 %, perempuan parlemen.

Kita menganggap parlemen itu bukan saja sebagai mimbar politik, melainkan juga mimbar dakwah. Kita bisa menyampaikan apa yang kita inginkan. Kita bisa belajar banyak di sana, semacam universitas. Ternyata keberadaan kita di DPR itu banyak mendengar, banyak melihat, kemudian bersama teman-teman menganalisa misalnya. Itu bisa mengasah kecerdasan intelektual dan emosional. Jabatan saya sebagai ketua komisi 8 di DPR. Di PKS sebagai anggota Majelis Syuro.

Bila Banyak Tekanan

Kalau kita merasa tidak suka, tapi itu harus terjadi juga. Hiburannya, yah, di luar gedung DPR. Melihat wajah-wajah yang baik di taklim-taklim, bersosialisasi dan berkumpul dengan orang-orang baiklah. Mereka yang satupemahaman dan satu pemikiran dengan kita. Jadi, kalau berada di dalam gedung DPR terus, memang rasanya sulit sekali untuk bisa menerima kenyataan. Kalau tidak ada tugas dari partai atau sebagai anggota DPR, saya masih aktif dakwah-dakwah di perkantoran, mengisi taklim-taklim, ceramah di lembaga-lembaga strategis. Termasuk sebagai pengurus Yayasan Ibu Harapan di Depok.

Membagi Waktu

Tentang memanaj waktu, seperti saya baca dari buku-bukunya Yusuf Qordhowi, terutama tentang waktu dalam kehdupan Muslim. Yang paling efektif manakala kita bisa tepat waktu, dan waktu kita menjadi produktif. Mengikuti cara Rasulullah, bangun sebelum subuh, kita berinfak, solat tepat waktu, dan merencanakan rencana siang hari sejak malamnya. Kalau waktu itu kita rencanakan dengan baik semuanya, insya Allah akan menjadi berkah.

Tarbiyatul Awlad atau Pendidikan Anak

Di rumah ada orang-orang dekat, saudara, adik-adik yang ikut mengawasi anak-anak. Untuk hal-hal yang bersifat penting, tidak diserahkan kepada hadimat. Saya berpikir bagaimana menjadikan mereka sebagai anak-anak yang sehat, intelektual yang memadai. Kemudian, benar bahwa anak-anak itu adalah hamba Allah yang taat. Suami sangat mendukung dalam melaksanakan konsep mendidik anak. Intinya, kita mendidik anak-anak mengikuti cara Rasulullah.

Sejak mulai hamil, mengandung, melahirkan, menyusui sampai saat anak bisa bicara, dan mengikuti apa-apa yang kita lakukan. Yah, dengan panduan buku Tarbiyatul Awlad. Sekuat tenaga, sebaik mungkin kita praktekkan. Ternyata ketika kita praktekkan nilai-nilai Islam dalam mendidik anak sangat beruntung. Misalnya, melatih anak berpuasa, solat, beraktivitas sosial, bersedekah sejak dini. Anak usia 2,5 tahun mulai diajak untuk berpuasa, begitu usia 3,5 tahun dia sudah terbiasa melakukan shaum di bulan Ramadhan.

Saya sangat terharu ketika ada anakku yang lulus SMA, kemudian diterima di PTN favorit. Waktu saya ajak untuk makan bersama, dia bilang; “Gak Mi, saya lagi shaum Daud.” Ternyata bagi dia shaum Daud itu sudah merupakan kebutuhan dan kenikmatan. Semuanya bila kita ajarkan sejak kecil, sungguh sangat bermanfaat. Umpamanya dalam berjilbab, walaupun anak itu masih kecil, tapi karena telah dibiasakan berkerudung, nah kalau dia mau keluar rumah selalu berkerudung.

Saya melihat anak-anak yang mampu menghafal Al Quran, ternyata sangat cerdas secara intelektual dan emosional. Alhamdulillah, anak-anak yang saya didik menghafal Al Quran, mereka dapat lulus SPMB, sekolah di PTN favorit. Mendidik anak secara Rasulullah itu bagi saya sangat tepat. Boleh saja kita mengambil teori-teori dari luar, tapi itu hanya sebagai pengayaan.

Tanggung jawab orang tua dalam pendidikan keimanan, mengarahkan mereka mempunyai keimanan yang kuat. Saat anak mengeluh, kita bandingkan keadaannya dengan yang lebih tak beruntung. Sehingga dia tetap bisa kembali mensyukuri nikmat-Nya. Bagaimana mencintai Allah, mencintai Nabi, bukan mengidolakan ibu-ayah yang bisa saja berbuat kekhilafan. Mencintai Al Quran dan para pejuang Islam. Kita juga mendidik anak-anak tentang makanan yang halal.

Pendidikan akhlak; akhlak kepada orang tua, kepada sesama, kepada tetangga. Bagaimana anak bersikap terhadap orang tua, misalnya, saya mendidik mereka secara realis. Jika ada anak yang mengatakan hal-hal jelek, misalnya, saya tidak akan memarahinya, tapi mengusut dulu dari mana sumbernya. Intinya kita tidak boleh panik dalam mendidik anak.

Suatu saat saya cerita kepada anak-anak, bagaimana tentang perjuangan para mujahid. Anak-anak kemudian sama ingin mati syahid. Nah, kalau ingin mati syahid itu kita harus cerdas. Karena musuh akan menembak komandan duluan bukan prajurit. Jadi komandan itu bukan orang bodoh. Kalau mau cerdas harus belajar. Kalau mau belajar enak ya harus makan, sehat. Sudah solat? Belum. Nah, katanya mau menjadi anak yang benar. Intinya kita mengajak dengan bahasa yang sederhana dan bisa dipahami anak-anak. Dengan bahasa yang positif. Tidak perlu kita menatakan; “Kamu anak yang nakal!” Tapi bisa dengan; “Kamu anak yang soleh, tapi perbuatanmu tadi tidak benar, ya Nak” Atau; “Umi sayang sama Abang, tapi perbuatan Abang tadi seperti anak yang tak mau disayang…” Di rumah kami kata-kata penghakiman, hujatan, sesalan atau cemoohan diharamkan.

Keseimbangan Dunia dengan Ukhrowi

Intinya kita menikmati semua karunia Allah. Kapan saatnya kita harus menikmatinya, dan kapan pula harus menahan. Saya beri pengertian kepada anak-anak, meskipun mereka anak anggota DPR, tapi tidak harus selalu pergi sekolah diantar-jemput mobil pribadi. Makan tidak harus selalu di restoran, umpamanya. Saya sering perlihatkan isi tas; “Nah, ini amplop untuk Palestina, ini untuk infak, ini untuk yatim-piatu. Uang Umi tinggal segini. Kalau menuntut seperti keinginan kalian, mau gak kita pakai uang riba?” Akhirnya mereka bisa menerima kenyataan. Yah, kita harus realistislah, mengatakan apa adanya.

Misalkan, ada anak yang kepingin ponsel, ini biasanya setelah SMP. Itu juga pakai proposal; apa manfaatnya, apa mudharatnya. Ketika kecil anak-anak tidak dibiasakan menonton televisi. Nah, setelah besar, tiga anak mewakili dan bikin proposal bagaimana pentingnya televisi. Tapi itupun untuk acara-acara tententu saja, tidak yang membuang-buang waktu.

“Intimya saya masih terus belajar, baik sebagai ibu, sebagai politikus, sebagai wanita solehah,” pungkasnya merendah.

...


Kini, perempuan pilihan itu telah mendahuluiku, mendahului kit asemua. Semua kebaikan dan keikhlasannya dalam berbagi, baik ilmu maupun finansial, semoga menjadi pahala dan memudahkannya dalam perjalanan menemui Sang Khalik.

Selamat Jalan, Saudariku Cinta, Yoyoh Yusroh, sampai jumpa, bila waktuku tiba. (Pipiet Senja)


*)sumber dari blognya Pipiet Senja http://pipietsenjaa.blogspot.com/2011/05/perempuan-pilihan-itu-telah-pergi.html?spref=tw


*posted: pkspiyungan.blogspot.com