ABU HANIFAH- 2-habis (Sikap Bela Agama Dan Argumentasinya Yang  Kuat)
Sabtu, 12 Maret 05 
“Abu Hanifah an-Nu'man adalah seorang yang sangat keras  pembelaannya terhadap hak-hak Allah yang tidak boleh dilanggar, banyak diam dan  selalu berfikir.” (Imam Abu Yusuf)
Pada suatu hari Abu Hanifah  mendatangi majlis Imam Malik yang sedang berkumpul dengan para sahabatnya, maka  tatkala ia keluar (karena pengajian sudah bubar), berkatalah Imam Malik kepada  orang-orang yang ada di sekitarnya, “Apakah kalian tahu siapa orang itu.?”  Mereka menjawab, “Tidak.” Kemudian sang Imam berkata, “Ia adalah an-Nu'man bin  Tsabit, seorang yang apabila mengatakan bahwasanya tiang masjid ini adalah emas  maka perkataannya itu tentulah menjadi hujjah dan sungguh benar-benar tiang itu  akan keluar seperti yang dikatakannya itu.”
Tidaklah Imam Malik  berlebihan dalam mensifati Abu Hanifah dengan hal demikian karena memang ia  memiliki hujjah yang kuat, kecepatan dalam megambil keputusan yang tepat dan  ketajaman dalam berfikir.
Kitab-kitab sejarah telah menceritakan  bagaimana pendirian dan sikapnya terhadap para penentang dan musuh-musuhnya  dalam hal ra'yu dan aqidah, yang kesemuanya itu menjadi saksi akan kebenaran apa  yang dikatakan oleh Imam Malik tentang Abu Hanifah, yang mana jika seandainya ia  mengatakan bahwasanya pasir yang ada di depanmu adalah emas maka tidak ada  alasan bagi kamu kecuali percaya dan menerima terhadap apa yang ia katakan. Maka  bagaimana halnya jika ia mendebat tentang kebenaran.?
Sebagai satu  contoh apa yang terjadi dengan salah seorang dari Kufah yang disesatkan Allah ia  adalah seorang yang terpandang di mata sebagian orang dan kata-katanya didengar  oleh mereka. Ia mengatakan kepada orang-orang bahwasanya Utsman bin Affan pada  asalnya adalah seorang yahudi dan ia tetap menjadi yahudi setelah datangnya  agama Islam. Maka demi mendengar perkataannya tersebut Abu Hanifah  menghampirinya dan berkata, “Saya datang kepadamu hendak melamar anak  perempuanmu untuk salah seorang sahabatku.”
Ia menjawab, “silahkan wahai  Imam, sesungguhnya orang seperti dirimu tidak akan ditolak apabila meminta  sesuatu, tetapi kalau boleh tahu siapakah orang yang mau menikahi anak  perempuanku itu.?”
Abu Hanifah menjawab, “seseorang yang dikenal oleh  kaumnya dengan kemuliaan dan kekayaan, dermawan dan ringan tangan serta suka  membantu orang lain, hafal kitab Allah Azza wa Jalla, selalu menghidupkan  seluruh malamnya untuk beribadah dan banyak menangis karena takutnya kepada  Allah.”
Maka orang itu berkata, “cukuplah wahai Abu Hanifah,  sesungguhnya sebagian dari sifat yang engkau sebutkan tadi telah menjadikan  orang itu pantas untuk menikahi anak perempuan Amirul Mu'minin.” 
Kemudian Abu Hanifah berkata lagi, “akan tetapi ia memiliki satu sifat  yang harus engkau pertimbangkan.”
Ia bertanya, “apakah sifat tersebut.” 
Sang Imam menjawab, “sesungguhnya ia adalah seorang yahudi.”
Maka  setelah mendengar jawaban tersebut ia terguncang kaget seraya berkata, “ia  seorang yahudi? apakah engkau akan memintaku untuk menikahkan anak perempuanku  dengan seorang yahudi wahai Abu Hanifah?! Demi Allah aku tidak akan melakukannya  sekalipun ia memiliki semua sifat baik dari kaum terdahulu hingga yang  terakhir.”
Maka Abu Hanifah pun berkata, “engkau menolak untuk  menikahkan anak perempuanmu dengan seorang yahudi dan engkau sangat  mengingkarinya, kemudian engkau mengatakan kepada orang banyak bahwasanya  Rasulullah SAW telah menikahkan kedua putri beliau dengan seorang yahudi !!” 
Maka demi mendengar apa yang dikatakan Abu Hanifah tubuhnya bergetar  kemudian berkata, “aku memohon ampun kepada Allah dari perkataan jelek yang  telah aku katakan, dan aku bertaubat kepada-Nya dari kedustaan yang pernah aku  lakukan.”
Contoh yang lain adalah apa yang terjadi pada salah seorang  Khawarij* yang bernama adh-Dhahhak asy-Syary. Pada suatu hari ia mendatangi Abu  Hanifah dan berkata, “Bertaubatlah engkau wahai Abu Hanifah.”
Sang Imam  menjawab, “Dari hal apakah aku bertaubat?”
Orang itu menjawab, “Dari  perkataanmu tentang dibolehkannya menentukan satu hakim untuk memutuskan apa  yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyah.”
Abu Hanifah berkata, “Apakah  engkau mau berdebat denganku tentang masalah ini?” ia menjawab, “Ya” 
Kemudian Abu Hanifah berkata, “Jika kita berselisih tentang apa yang  kita perdebatkan, siapakah yang akan menjadi hakim antara kita”
Orang itu  menjawab, “Pilihlah yang engkau mau.”
Maka sang Imam memandang salah  seorang temannya dan berkata, “Wahai fulan, jadilah engkau penengah di antara  kami tentang apa yang kami perselisihkan”
Selanjutnya ia berkata kepada  Sang khawarij, “Aku ridlo temanmu menjadi penengah antara kita, apakah kamu juga  demikian?”
Maka dengan senang hati ia menjawab, “Tentu”
Namun  kemudian Abu Hanifah berkata, “Celakalah kamu, bagaimana kamu membolehkan adanya  penengah di antara kita tentang apa yang kita perselisihkan, sedangkan kamu  mengingkari adanya di antara dua sahabat Rasulullah SAW?!
Maka orang  terebut diam seribu bahasa dan tidak dapat menjawabnya.
Kemudian di  antara contoh lainnya adalah kisah perdebatan beliau dengan Jahm bin Shafwan  seorang pemimpin aliran Jahmiyah yang sesat dan seorang yang menanam kejelekan  di bumi Islam. Pada suatu saat ia mendatangi Abu Hanifah dan berkata, “Aku ingin  berbincang-bincang denganmu tentang beberapa perkara yang telah aku siapkan.”  Akan tetapi Abu Hanifah menjawab, “berbincang-bincang denganmu adalah merupakan  aib, dan membicarakan tentang apa yang kamu yakini adalah seperti api yang  menyala.”
Maka Jahm berkata, “bagaimana engkau menghukumiku demikian,  sedangkan engkau belum pernah bertemu denganku sebelumnya dan belum pernah  mendengar perkataanku?”
Kemudian Abu Hanifah menjawab, “sesungguhnya hal  yang demikian telah tersebar dan terkenal di kalangan orang awam maupun para  ulama, sehingga boleh bagiku untuk berkata demikian karena berita tentangmu  telah mutawatir.”
Setelah itu Jahm berkata lagi, “aku tidak akan  bertanya kepadamu kecuali tentang iman.”
Abu Hanifah menyela, “apakah sampai  saat ini kamu belum tahu tentang iman sehingga kamu bertanya kepadaku  tentangnya?”
Jahm menjawab, “aku tahu, akan tetapi aku merasa ragu pada  salah satu macamnya.”
Abu Hanifah berkata, “ragu dalam hal keimanan adalah  kufur.” Kemudian Jahm berkata, “kamu tidak boleh mensifatiku dengan kekufuran  sebelum kamu mendengar apa yang membuatku kafir,”
Maka Abu Hanifah  berkata, “katakan apa yang ingin kamu tanyakan!”
Jahm berkata, “kabarkanlah  kepadaku tentang seorang yang meyakini akan keberadaan Allah dengan hatinya, dan  ia yakin bahwasanya Allah adalah Esa dan tiada sekutu baginya. Ia juga tahu  tentang sifat-sifat Allah dan yakin bahwasanya tidak ada sesuatupun yang  menyamai-Nya. Kemudian ia mati akan tetapi tidak menyatakan keimanannya itu  dengan lisannya. Apakah ia mati dalan keadaan mukmin atau kafir.?”
Abu  Hanifah menjawab, “ia mati dalam keadaan kafir dan termasuk ahli neraka jika ia  tidak menyatakan dengan lisannya tentang apa yang diyakini hatinya, kecuali jika  ada sesuatu sebab yang menghalanginya untuk menyatakan keimanan dengan  lisannya.”
Kemudian Jahm membantah dengan berkata, “bagaimana ia tidak  menjadi mukmin sedangkan ia telah benar-benar meyakini adanya Allah.?” 
Maka kemudian Abu Hanifah berkata, “jika kamu beriman kepada al-Qur'an  dan kamu menjadikannya sebagai hujjah maka aku akan menjawab pertanyaanmu  dengannya, tapi jika kamu tidak mengimani al-Qur'an dan kamu tidak memandangnya  sebagai hujjah, maka aku akan menjawab pertanyaanmu dengan sesuatu yang biasa  kami katakan kepada orang yang menyelisihi Islam.”
Akan tetapi kemudian  Jahm menjawab, “justru aku mengimani al-Qur'an dan menjadikannya sebagai  hujjah.”
Maka Abu Hanifah menjawab, “sesungguhnya Allah Tabaraka wa  Ta'ala telah menjadikan keimanan itu dengan dua anggota badan yaitu hati dan  lisan, tidak dengan salah satunya, dan yang demikian itu telah di sebutkan dalam  Kitab Allah al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW, diantaranya adalah:
Firman  Allah Ta'ala, “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul  (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran  (al-Qur'an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya  berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama  orang-orang yang menjadi saksi atas (kebenaran al-Qur'an dan kenabian Muhammad  s.a.w) Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang  datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke  dalam golongan orang-orang yang shalih?” Maka Allah memberi mereka pahala  terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir  sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan  (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).”( al-Maidah:  83-85)
Disebutkan dalam ayat di atas bahwasanya mereka meyakini  kebenaran dengan hati dan menyatakannya dengan lisan, maka karena apa yang  mereka ucapkan Allah memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir  sungai-sungai di dalamnya.
Dia juga berfirman, “Katakanlah (hai  orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada  kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak  cucunya, dan apa yang diberikan kepda Musa dan 'Isa serta apa yang diberikan  kepada nabi-nabi dari Tuhan-Nya.”( Al-Baqarah: 136)
mereka diperintah  untuk melafadzkan keimanan mereka dan tidak cukup hanya dengan hati.
Di  dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Katakanlah, Laa ilaaha illallaah,  maka kalian akan selamat.” beliau tidak menjadikan keselamatan hanya dengan  keyakinan hati, akan tetapi harus disertai dengan dengan ucapan.
Di  dalam hadits yang lain beliau SAW bersabda, “akan keluar dari neraka orang yang  mengatakan Laa ilaaha illallaah.” Beliau tidak mengatakan, akan keluar dari  neraka orang yang tahu adanya Allah. Dan jikalau perkataan itu tidak dibutuhkan,  akan tetapi cukup keimanan itu hanya dengan hati, maka iblis itu termasuk orang  yang beriman. Karena iblis tahu bahwasanya Allah itu ada, ia tahu bahwasanya  Allah lah yang telah menciptakannya dan Allah pula yang akan mematikannya. Ia  juga yakin bahwasanya Allah yang akan membangkitkannya dan Allah pula yang  menyesatkannya.
Disebutkan dalam al-Qur'an bahwasanya iblis berkata,  “Engkau menciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”  Al-A'raaf: 12
“Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku  sampai hari (manusia) dibangkitkan.” (Al-Hijr: 36)
“Karena Engkau telah  menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari  jalan Engkau yang lurus.”(al-A'raaf: 16)
Dan jika apa yang engkau yakini  adalah benar wahai Jahm, maka sebagian banyak orang kafir menjadi beriman karena  mereka mengakui adanya Allah dengan hatinya walaupun mereka mengingkari dengan  lisan mereka.
Allah berfirman, “Dan mereka mengingkarinya karena  kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini  (kebenaran)-nya.” (An-Naml:14)
Keyakinan yang ada di hati mereka tidak  dapat menjadikan mereka beriman, akan tetapi mereka tetap orang kafir karena  pengingkaran lisan mereka.
Demikianlah Abu Hanifah menjelaskan tentang  permasalahan iman dengan sangat gamblangnya, kadang dengan al-Qur'an dan  terkadang dengan hadits, sehingga tampak pada wajah Jahm rasa minder dan kalah  sampai kemudian ia berpamitan kepada Abu Hanifah seraya berkata, “engkau telah  mengingatkanku akan sesuatu yang terlupa, aku pamit sebentar.” Akan tetapi ia  pergi tanpa kembali lagi.
Di antara contoh yang lain, diceritakan  bahwasanya pada suatu saat Abu Hanifah menemui sekelompok orang yang mengingkari  adanya Sang Pencipta (Atheis), maka ia berkata kepada mereka, “Apa yang kalian  katakan jika ada sebuah kapal yang penuh dengan muatan barang, di tengah lautan  ia dikelilingi oleh ombak besar yang saling bertabrakan dan diterjang oleh angin  yang sangat kencang, akan tetapi kapal tersebut dapat berlayar dengan sangat  tenang menuju tempat tujuan tanpa adanya goncangan sedikitpun, sedangkan di atas  kapal tersebut tidak ada seorang nahkodapun didalamnya. Apakah hal tersebut  masuk akal?”
Mereka menjawab, “Tidak, sesungguhnya kejadian tersebut sama  sekali tidak dapat diterima oleh akal”
kemudian ia berkata, “Begitukah?  Subhaanallah!! Kalian mengingkari adanya sebuah kapal yang dapat berjalan dengan  tenang tanpa nahkoda, sedangkan kalian meyakini bahwasanya alam semesta yang  penuh dengan lautan luas, gugusan bintang yang selalu beredar, burung-burung  yang selalu bertashbih dan berbagai macam binatang ada (tercipta) dengan  sendirinya tanpa ada Sang Pencipta yang menciptakan dan mengatur semua itu?  Celakalah kalian.!”
Demikianlah perjalanan hidup beliau yang selalu  membela agama Allah dengan apa yang telah dianugerahkan oleh-Nya yang berupa  kekuatan berhujjah dan kefasihan dalam berbicara.
Kemudian tatkala maut  menjemput, telah ditemukan bahwasanya di antara wasiat beliau adalah agar  jasadnya dikuburkan di tanah yang bersih (tidak ada syubhat rampasan atau  lainnya) dan agar dijauhkan dari setiap tempat yang dikhawatirkan diambil dengan  ghosob (diambil tanpa seizin pemiliknya).
Maka tatkala wasiat tersebut  sampai ke telinga al-Manshur ia berkata, “siapakah yang berani mencela dia di  depanku.?”
Abu Hanifah juga telah berwasiat agar jasadnya dimandikan  oleh al-Hasan bin 'Ammaroh, maka tatkala memandikannya ia berkata, “Semoga Allah  merahmatimu wahai Abu Hanifah, dan semoga Dia menghapus dosa-dosamu sebagai  balasan dari apa yang pernah engkau lakukan. Sesungguhnya engkau tidak pernah  berbuka sejak tiga puluh tahun, dan tidak pernah tidur sejak empat puluh tahun.  Dan sungguh engkau telah membikin susah ulama setelahmu (karena harus mencontoh  dan meniru perilakumu).”
CATATAN:
* Al-Khawarij: orang-orang  yang keluar dari ketaatan kepada Ali dan Mu'awiyah RA







0 komentar:
Posting Komentar