Minggu, Januari 23, 2011

Jaw Mei Hwa : Ancaman dan Siksaan Tak Menggogahkan Keislamanku


SAYA dilahirkan dari keluarga Nasrani yang fanatik, 23 April 1977 di Palembang, Sumatra Selatan. Tetapi sebagai anak sulung, saya telah dipersiapkan menjadi pewaris ajaran agama nenek moyang kami, yaitu Budha. Oleh karenanya, sejak dini saya dididik dan ditempa dengan ajaran-ajaran Sidharta Budha Gautama

Sebaliknya, lingkungan masyarakat tempat tinggal kami didominasi penduduk pribumi yang notabene kaum muslim. Mereka cukup konsisten dengan agamanya. Itu dapat saya saksikan dengan aktivitas kegiatan-kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan di masjid dekat rumah kami. Masjid menjadi pusat kegiatan mereka. Dari anak-anak, remaja, kaum ibu, dan kaum bapak, menggunakan masjid itu sebagai tempat pembinaan. Pokoknya, tiada hari tanpa kegiatan. Ini amat berbeda dengan yang saya saksikan di wihara (rumah ibadah umat Budha). Wihara tampak amat lengang dan sepi dari aktivitas kemasyarakatan. Entah dari mana asal mulanya, saya jadi sering membanding-bandingkan antara Budha dan Islam.

Saya lihat kaum muslimin tampak begitu gembira setiap kali berada di masjid. Dan yang paling berkesan buat saya, setiap kali mendengar mereka membaca Al-Qur'an, hati saya seperti terang dan damai. Bahkan, dari bilik hati saya seperti ada bisikan, "Mengapa kamu tidak mengikuti ajaran mereka. Pandanglah Islam secara keseluruhan dan objektif."

Semakin saya bandingkan, saya semakin memahami kesempurnaan dan kebesaran Islam. Sementara itu, orang tua saya tidak tahu pergolakan yang terjadi di dalam hati saya ini, karena saya terlihat oleh mereka masih aktif pergi ke wihara. Padahal, pada saat itu saya sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap ajaran Sang Budha. Contohnya, Tripitaka sebagai kitab suci umat Budha, menurut nalar saya, tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang menjadi ganjalan saya secara tuntas, seperti persoalan yang menyangkut konsepsi ketuhanan dan kehidupan sesudah mati.

Berbeda dengan Al-Qur'an yang pernah saya baca terjemahannya dari pinjaman teman saya. Kitab suci kaum muslimin itu, menurut saya, mampu menjawab semua persoalan kehidupan dan kemanusiaan secara tuntas. Bahasanya mudah dipahami dan dapat diterima akal. Meskipun hati saya diliputi kebimbangan terhadap ajaran Budha, tetapi saya tetap aktif ke wihara. Tekad saya, sebelum melepaskan keyakinan lama, saya hares terus menggali dan mencari keutamaan agama Islam.

Dari konsepsi ketuhanannya, agama Islam dengan konsep tauhidnya mampu menjelaskan kemahaesaan Tuhan dengan bahasa yang sederhana, namun lugas dan tuntas. Terjemahan Al-Qur'an surat al-Ikhlas ayat 1-5 benar-benar membuka mata hati dan nalar saya. Sementara, menurut agama Budha, Sidharta Gautama sebagai pembawa ajaran Budha juga dianggap sebagai penjelmaan Tuhan. Ini kan rancu, manusia dianggap Tuhan, begitu pikir saya.

Satu lagi, umat Budha percaya terhadap peristiwa reinkarnasi. Misalnya, jika seorang manusia selama hidupnya berbuat jahat maka ketika ia mati rohnya menitis ke dalam jasad hewan. lni menurut saya, sesuatu yang amat mustahil dan tidak masuk akal.Tapi apabila saya masuk Islam, saya akan mendapat siksaan.

Proses pencarian itulah yang menyebabkan saya mengerti keutamaan Islam. Kesimpulan saya, Islam memang agama yang paling sempurna dibandingkan agama-agarna lainnya di muka bumi. Setelah itu saya menetapkan diri dan bertekad menjadi pemeluk Islam yang sejati, walaupun harus mendapat tantangan dari orang tua dan keluarga. Entah bagaimana, timbul keberanian saya untuk mengungkapkan kegelisahan dan keinginan memeluk Islam kepada orang tua saya.

Demi mendengar keinginan saya itu, papa saya marah besar. Mulailah penderitaan ini saya jalani. Siksaan demi siksaan fisik harus saya terima. Papa mengancam akan mengusir saya, bahkan membunuh saya, apabila saya berani masuk Islam. Saya tak bergeming dangan ancaman itu. Tekad saya sudah bulat, walaupun harus mati, saya rela asal matt dalam kepastian selaku seorang muslim.

Alhamdulillah, akhirnya niat yang suci itu terkabul juga. Singkat cerita, pada bulan Desember 1992, secara resmi saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat di depan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Maryana, Plaju, dengan saksi Dra. Yunimularsi dan Dra. Sri Astuti. Kedua orang akhwat itu adalah aktivis remaja masjid dekat rumah saya.

Plong, rasanya. Saya seperti orang yang baru dilahirkan. Begitu perasaan saya saat itu. Hari itu juga saya langsung pulang dan memberitahukan keislaman saya kepada orang tua tanpa ada keraguan dan perasaan takut sedikit pun.

Mengetahui hal itu, papa semakin murka dan kembali menyiksa saya. Sedangkan, mama diam tanpa bisa berbuat banyak. Siksaan fisik terus saya jalani, tapi saya tetap tabah. Saya tak ingin menceritakan bagaimana bentuk penyiksaan yang saya terima itu. Tetapi cukuplah, semua itu saya anggap sebagai ujian iman.

Akhirnya, papa mengalah atas keteguhan hati saya. Rupanya, papa sudah putus asa melihat kesungguhan dan ketabahan hati saya. Padahal, waktu itu usia saya baru 15 tahun. Setelah memeluk agama Islam saya makin giat mendalami Islam dan banyak bertanya kepada para kiai. Sewaktu saya masih sekolah di SMEA Negeri 11 kelas 2 jurusan Akuntansi banyak teman-teman dan guru-guru terutama guru agama banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada saya.

Hanya satu yang masih mengganjal, orang tua dan adik-adik saya belum lagi tergugah untuk masuk Islam. Oleh karenanya, dalam setiap shalat senantiasa saya mohonkan doa, semoga Allah SWT membuka pinto hati orang tua dan saudara-saudara saya agar mereka mengikuti jejak saya memeluk agama Islam. Amiin Allahumma Amin. (Taufik lisman/Albaz - dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/) - Mualaf.com

0 komentar:

Posting Komentar