SAYA dilahirkan dari keluarga  Nasrani yang fanatik, 23 April 1977 di Palembang, Sumatra Selatan. Tetapi  sebagai anak sulung, saya telah dipersiapkan menjadi pewaris ajaran agama nenek  moyang kami, yaitu Budha. Oleh karenanya, sejak dini saya dididik dan ditempa  dengan ajaran-ajaran Sidharta Budha Gautama
Sebaliknya, lingkungan  masyarakat tempat tinggal kami didominasi penduduk pribumi yang notabene kaum  muslim. Mereka cukup konsisten dengan agamanya. Itu dapat saya saksikan dengan  aktivitas kegiatan-kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan di masjid dekat rumah  kami. Masjid menjadi pusat kegiatan mereka. Dari anak-anak, remaja, kaum ibu,  dan kaum bapak, menggunakan masjid itu sebagai tempat pembinaan. Pokoknya, tiada  hari tanpa kegiatan. Ini amat berbeda dengan yang saya saksikan di wihara (rumah  ibadah umat Budha). Wihara tampak amat lengang dan sepi dari aktivitas  kemasyarakatan. Entah dari mana asal mulanya, saya jadi sering  membanding-bandingkan antara Budha dan Islam.
Saya lihat kaum muslimin  tampak begitu gembira setiap kali berada di masjid. Dan yang paling berkesan  buat saya, setiap kali mendengar mereka membaca Al-Qur'an, hati saya seperti  terang dan damai. Bahkan, dari bilik hati saya seperti ada bisikan, "Mengapa  kamu tidak mengikuti ajaran mereka. Pandanglah Islam secara keseluruhan dan  objektif."
Semakin saya bandingkan, saya semakin memahami kesempurnaan  dan kebesaran Islam. Sementara itu, orang tua saya tidak tahu pergolakan yang  terjadi di dalam hati saya ini, karena saya terlihat oleh mereka masih aktif  pergi ke wihara. Padahal, pada saat itu saya sedang mengalami krisis kepercayaan  terhadap ajaran Sang Budha. Contohnya, Tripitaka sebagai kitab suci umat Budha,  menurut nalar saya, tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang menjadi  ganjalan saya secara tuntas, seperti persoalan yang menyangkut konsepsi  ketuhanan dan kehidupan sesudah mati.
Berbeda dengan Al-Qur'an yang  pernah saya baca terjemahannya dari pinjaman teman saya. Kitab suci kaum  muslimin itu, menurut saya, mampu menjawab semua persoalan kehidupan dan  kemanusiaan secara tuntas. Bahasanya mudah dipahami dan dapat diterima akal.  Meskipun hati saya diliputi kebimbangan terhadap ajaran Budha, tetapi saya tetap  aktif ke wihara. Tekad saya, sebelum melepaskan keyakinan lama, saya hares terus  menggali dan mencari keutamaan agama Islam.
Dari konsepsi ketuhanannya,  agama Islam dengan konsep tauhidnya mampu menjelaskan kemahaesaan Tuhan dengan  bahasa yang sederhana, namun lugas dan tuntas. Terjemahan Al-Qur'an surat  al-Ikhlas ayat 1-5 benar-benar membuka mata hati dan nalar saya. Sementara,  menurut agama Budha, Sidharta Gautama sebagai pembawa ajaran Budha juga dianggap  sebagai penjelmaan Tuhan. Ini kan rancu, manusia dianggap Tuhan, begitu pikir  saya.
Satu lagi, umat Budha percaya terhadap peristiwa reinkarnasi.  Misalnya, jika seorang manusia selama hidupnya berbuat jahat maka ketika ia mati  rohnya menitis ke dalam jasad hewan. lni menurut saya, sesuatu yang amat  mustahil dan tidak masuk akal.Tapi apabila saya masuk Islam, saya akan mendapat  siksaan.
Proses pencarian itulah yang menyebabkan saya mengerti keutamaan  Islam. Kesimpulan saya, Islam memang agama yang paling sempurna dibandingkan  agama-agarna lainnya di muka bumi. Setelah itu saya menetapkan diri dan bertekad  menjadi pemeluk Islam yang sejati, walaupun harus mendapat tantangan dari orang  tua dan keluarga. Entah bagaimana, timbul keberanian saya untuk mengungkapkan  kegelisahan dan keinginan memeluk Islam kepada orang tua saya.
Demi  mendengar keinginan saya itu, papa saya marah besar. Mulailah penderitaan ini  saya jalani. Siksaan demi siksaan fisik harus saya terima. Papa mengancam akan  mengusir saya, bahkan membunuh saya, apabila saya berani masuk Islam. Saya tak  bergeming dangan ancaman itu. Tekad saya sudah bulat, walaupun harus mati, saya  rela asal matt dalam kepastian selaku seorang muslim.
Alhamdulillah,  akhirnya niat yang suci itu terkabul juga. Singkat cerita, pada bulan Desember  1992, secara resmi saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat di depan Kepala  Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Maryana, Plaju, dengan saksi Dra.  Yunimularsi dan Dra. Sri Astuti. Kedua orang akhwat itu adalah aktivis remaja  masjid dekat rumah saya.
Plong, rasanya. Saya seperti orang yang baru  dilahirkan. Begitu perasaan saya saat itu. Hari itu juga saya langsung pulang  dan memberitahukan keislaman saya kepada orang tua tanpa ada keraguan dan  perasaan takut sedikit pun.
Mengetahui hal itu, papa semakin murka dan  kembali menyiksa saya. Sedangkan, mama diam tanpa bisa berbuat banyak. Siksaan  fisik terus saya jalani, tapi saya tetap tabah. Saya tak ingin menceritakan  bagaimana bentuk penyiksaan yang saya terima itu. Tetapi cukuplah, semua itu  saya anggap sebagai ujian iman.
Akhirnya, papa mengalah atas keteguhan  hati saya. Rupanya, papa sudah putus asa melihat kesungguhan dan ketabahan hati  saya. Padahal, waktu itu usia saya baru 15 tahun. Setelah memeluk agama Islam  saya makin giat mendalami Islam dan banyak bertanya kepada para kiai. Sewaktu  saya masih sekolah di SMEA Negeri 11 kelas 2 jurusan Akuntansi banyak  teman-teman dan guru-guru terutama guru agama banyak memberikan bantuan dan  dukungan kepada saya.
Hanya satu yang masih mengganjal, orang tua dan  adik-adik saya belum lagi tergugah untuk masuk Islam. Oleh karenanya, dalam  setiap shalat senantiasa saya mohonkan doa, semoga Allah SWT membuka pinto hati  orang tua dan saudara-saudara saya agar mereka mengikuti jejak saya memeluk  agama Islam. Amiin Allahumma Amin. (Taufik lisman/Albaz - dari Buku "Saya  memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website :  http://www.gemainsani.co.id/) - Mualaf.com







0 komentar:
Posting Komentar