KEBIASAAN orang-orang besar yang dekat dengan Allah swt. adalah berjalan-jalan  di sekelilingnya. Bukan sekadar berjalan-jalan belaka, tapi lebih untuk melihat  dari dekat apa yang sedang terjadi. Biasanya mereka menjadikan semua itu sebagai  perenungan lain. Begitu pula dengan Imam Abu Hanifah.
Suatu hari, ketika  Imam Abu Hanifah tengah melakukan kebiasaannya itu, ia melewati sebuah rumah.  Rumah itu terletak di pedesaan. Jendelanya terbuka. Tanpa diduga, dari dalam  rumah tersebut terdengar suara orang mengeluh dan menangis. Cukup keras. Abu  Hanifah mencoba mendekat, agar bisa mendengar lebih jelas. Ia melakukannya  dengan perlahan-lahan, seolah tidak ingin diketahui oleh empunya rumah. 
"Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini,” suara itu sekarang makin  kedengaran dengan jelas, “agaknya tiada seorang pun yang lebih malang  daripadaku. Nasibku ini sungguh celaka. Aku memang tidak beruntung. Sejak dari  pagi, belum datang sesuap nasi atau makanan pun lewat di kerongkongku. Badanku  lemah lunglai. Oh, adakah hati yang berbelas-kasihan sudi memberi curahan air  walaupun setitik?"
Abu Hanifah terperanjat. Ia merasa kasihan. Di samping  itu, ia juga merasa bertanggung jawab, ada seorang yang begitu memerlukan  pertolongan tetapi ia tidak mengetahuinya. Bagaimana kalau ia tidak peduli,  tentu Allah akan semakin tidak ridha kepadanya. Bergegas Abu Hanifah pun kembali  ke rumahnya dan mengambil sebuah bungkusan. Bungkusan itu berisi uang. Hendak  diberikan bungkusan itu kepada orang tersebut. Abu Hanifah bergegas kembali ke  rumah orang tersebut.
Setelah tiba, Abu Hanifah melemparkan begitu saja  bungkusan itu ke rumah orang yang sedang meratap-ratap itu lewat jendelanya.  Lalu ia pun meneruskan perjalanannya. Untuk sementara waktu, kelegaan terasakan  oleh Abu Hanifah.
Mendapati sebuah bungkusan yang tiba-tiba saja datang  dari arah jendelanya yang terbuka, bukan buatan terkejutnya orang tersebut.  Sambil masih terus bertanya-tanya dalam hati, dengan tergesa-gesa ia membukanya.  Setelah dibuka, tahulah ia bungkusan itu berisi uang. Cukup banyak ternyata.  Namun tidak hanya uang. Juga ada secarik kertas di dalamnya. Kertas itu  bertuliskan kata-kata Abu Hanifah yang isinya, “Hai kawan, sungguh tidak wajar  kamu mengeluh seperti itu. Sesungguhnya, kamu tidak perlu mengeluh atau meratapi  tentang nasibmu. Ingatlah kepada kemurahan Allah dan cobalah memohon kepadaNya  dengan bersungguh-sungguh. Jangan suka berputus asa, hai kawan, tetapi  berusahalah terus."
Karena diliputi kegembiraan mendapati bungkusan  berisi uang, orang itu cenderung tidak mengacuhkan isi surat itu. Ia pun bersuka  cita membelanjakan uang itu untuk kebutuhan sehari-harinya.
Keesokan  harinya, Imam Abu Hanifah melalui lagi rumah itu. Tapi ternyata, dari luar suara  keluhan itu kedengaran lagi. Masih orang itu juga. "Ya Allah, Tuhan Yang Maha  Belas Kasihan dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti  kemarin, sekadar untuk menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika  Engkau tidak beri, akan lebih sengsaralah hidupku," ratapnya.
Mendengar  keluhan itu lagi, maka Abu Hanifah pun lalu melemparkan lagi bungkusan berisi  uang dan secarik kertas dari luar. Tampaknya ia sudah menyiapkan bungkusan itu  sebelumnya. Dan seperti biasanya, lalu dia pun meneruskan perjalanannya. 
Orang itu kembali merasa beruntung melonjak-lonjak riang. Ia sudah yakin  bungkusan itu pastilah berisi uang seperti yang ia terima sebelumnya. Tapi  setelah itu, ia membaca tulisan dalam kertas yang tersampir bersama bungkusan  uang itu. "Hai kawan, bukan begitu cara bermohon. Bukan begitu cara berikhtiar  dan berusaha. Perbuatan demikian 'malas' namanya, dan putus asa kepada kebenaran  dan kekuasaan Allah. Sungguh tidak ridha Tuhan melihat orang pemalas dan putus  asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan, jangan berbuat demikian.  Raihlah kesenangan dengan bekerja dan berusaha. Kesenangan itu tidak mungkin  datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang hidup harus bekerja dan  berusaha. Allah tidak akan memperkenankan permohonan orang yang malas bekerja.  Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang berputus asa. Sebab itu, carilah  pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah sedapat mungkin  dengan pertolongan Allah. InsyaAllah, akan dapat juga pekerjaan itu selama  engkau tidak berputus asa. Nah, carilah segera pekerjaan. Aku doakan semoga bisa  berhasil."
Usai membaca surat itu, dia termenung. Kali ini, dia insaf dan  sadar akan kemalasannya. Selama ini dia sama sekali tidak berikhtiar dan  berusaha.
Keesokan harinya, dia pun keluar dari rumahnya untuk mencari  pekerjaan. Sejak hari itu, sikapnya pun berubah mengikuti ketentuan-ketentuan  hidup. Ia juga tidak pernah melupakan orang yang telah memberikan nasihat  itu.
sumber : saksi-online







0 komentar:
Posting Komentar