REPUBLIKA.CO.ID, ATLANTA--New York Times edisi Selasa mengulas tentang Muslimah Amerika serikat yang kini banyak menjadi publik figur di negeri adidaya itu. Mereka mencontohkan Soumaya Khalifa pada awal tulisannya.
Sekitar 11 September 2001, tidak lama setelah dia mendirikan Islamic Speakers Bureau of Atlanta, Soumaya Khalifa mendengar dari kelompok yang namanya terdengar seperti Bakers Club meminta persentasi. Meski alamat yang diberikan tak biasa, tapi dia pergi juga.
Kelompok ini ternyata Bickerers Club, yang anggotanya suka berdebat. Islam adalah topik mereka dan tempat mereka adalah sebuah kedai. Khalifa tertawa, dan membuat yang terbaik untuk itu.
Khalifa, yang lahir di Mesir dan dibesarkan di Texas, memakai jilbab datang dengan penuh percaya diri. Dan apa yang semula ditakutkan, tak terbukti: audiensnya menerima pola pikirnya, dan mengubah kebencian menjadi simpati.
Soumaya adalah salah satu dari sekian banyak perempuan yang sekarang gampang ditemukan di kota-kota AS: terdidik, jauh dari stereotip bahwa wanita Muslimah adalah tersubordinasi kaum pria, dan tak lelah berjuang mengusir atipati masyarakat pada Islam.
Para wanita ini telah mencapai tingkat keberhasilan dan tak tertanding. Mereka mengatakan mereka dibentuk oleh kebebasan Amerika Serikat; dan kekebasan beragama adalah salah satu bagiannya.
Najah Bazzy, seorang perawat kelahiran Amerika dan pendiri beberapa lembaga amal di Michigan, membenarkannya. "Ya aku keturunan Arab, ya aku sangat Amerika, dan yeah, aku sangat Islam," ujarnya.
Untuk menjadi dirinya sekarang, tidak selalu mudah. Sama seperti Muslim lain, ia juga menjadi objek surat yang kasar, e-mail atau posting blog yang penuh cercaan.
Namun dalam pencarian mereka untuk memecahkan stereotip, ulas Washington Times, perempuan Muslim Amerika memiliki keunggulan. Mereka lebih terdidik dari rekan di Eropa Barat. Menurut survei Gallup pada Maret 2009, perempuan Muslim Amerika lebih independen.
"Muslim datang ke Amerika Utara sering mencari versi egaliter Islam," kata Ebrahim Moosa, seorang profesor studi Islam di Duke University. "Itu kekuatan perempuan Muslim AS dibanding Eropa Barat."
Khalifa mengakui, tak mudah menjadi dia yang sekarang. Memiliki gelar dalam bidang kimia dan sumber daya manusia, orang masih kerap berpandangan miring. Pada awalnya, katanya, orang-orang yang menatapnya dengan tatapan "seperti saya berbeda, Muslim, bukan Amerika, dan ...bodoh."
Tapi dia mencoba bersikap tenang. Perlahan, publik Amerika tahu kualitas otaknya. Kini, ia menjadi salah satu pembicara SDM yang cukup terpandang.
Mungkin tokoh yang paling diperhatikan di kalangan perempuan Muslim Amerika adalah Ingrid Mattson. Dengan busana modis dan jilbab warna-warni, dia berdiri di antara para ulama yang berkumpul di Washington pada bulan September untuk mencoba meredakan kemarahan atas rencana pembangunan masjid di dekat lokasi World Trade Center di New York.
Wanita 47 tahun yang mengajar di Seminari Hartford di Connecticut, menjadi wanita pertama yang memimpin Masyarakat Islam Amerika Utara, salah satu asosiasi Muslim terbesar di benua tersebut.
Dia pertama kali terpilih sebagai wakil presiden pada 4 September 2001, kemudian presiden pada tahun 2006, posisi yang ia pegang sampai September.
Perempuan Muslim AS kini makin menunjukkan eksistensinya. Mereka tak sepenuhnya keturunan Arab, atau Muslim dari jalur keturunan. Muslimah-muslimah seperti Mattson, kini kian bertambah jumlahnya. Tayyibah Taylor salah satunya. Ia keturunan Karibia di Atlanta yang kemudian memutuskan memeluk Islam. Ia kini yang mendirikan sebuah majalah glossy, Azizah, majalah gaya hidup Muslimah.
Oplah majalah ini kini 45 ribu eksemplar perbulan, dan konon, makin banyak perempuan yang terinspirasi untuk memeluk islam setelah membaca majalah ini.
"Aku tidak melihat Islam sebagai mengambil kebebasan saya sebagai seorang wanita," kata Taylor, mualaf yang khusus terbang ke Jeddah dan tinggal selama beberapa tahun di sana demi belajar Alquran. "Islam benar-benar membuka dunia bagi saya."
Populasi Muslim di Amerika, kini kian bertambah. Di Atlanta saja, sekarang diperkirakan 80 ribu orang, berakar pada 1950-an, ketika sekelompok kecil aktivis Nation of Islam, kebanyakan laki-laki kulit hitam, bertemu di gedung kotor untuk merancang dakwah. Kini 40 masjid masjid telah berdiri di kota ini.
Sumber: New York Times
0 komentar:
Posting Komentar