Rabu, Desember 08, 2010

Are You Quitters, Campers, or Climbers?


Jerit ketakutan bercampur dengan teriak gembira memenuhi seluruh arena. Histeris. Riuh rendah. Kemudian wajah sosok-sosok yang keluar dari salah satu wahana itu mencerminkan beragam ekspresi: puas dan gembira, lega, datar saja atau pusat pasi. Saya hanya memandangi. Jantung saya bertalu-talu. Deg-degan. Antara merasa tertantang dan takut. Antara keinginan untuk mencoba dan memilih ‘cari aman saja’. Akhirnya saya memutuskan untuk menaiki beberapa wahana yang cukup menantang, namun saya pertimbangkan cukup dapat saya tahankan secara perasaaan maupun fisik: Alap-alap (roaler coaster), perahu niagara-gara, halilintar dan arung jeram. Sedangkan untuk wahana kora-kora (perahu ayun), ontang-anting (ayunan berputar), kicir-kicir dan semua wahana yang saya prediksikan akan membuat saya pusing dan atau muntah saya hindari.

“Saya paling sensistif terhadap segala hal yang mengaduk-aduk isi perut atau bikin kepala pusing, karena akibatnya saya pasti muntah.” Demikian alasan saya. Bukan sekedar alasan, namun sesuatu yang sudah sangat saya pertimbangkan berdasarkan pengalaman dan pemahaman kondisi fisik.

Saya memandangi kora-kora –perahu besar- itu terus berayun semakin tinggi. Jerit histeris terus membahana. Wajah-wajah pucat menghias sebagian besar penumpang di dalamnya. Sebagian lagi menunjukkan ekspresi kemenangan dan bergaya menantang. Saya bertanya dalam hati, “Benarkah saya akan muntah jika menaikinya? Mungkin saja tidak, bukan? Dan kalau pun iya, wahana ini sangat layak untuk dicoba! Setidaknya berdasar pengalaman menaiki wahana sebelumnya, saya sudah tahu apa yang harus saya lakukan untuk menahankannya: saya hanya perlu berteriak sekuat-kuatnya!”

Maka saya pun mencobanya. Meski saya gemetar ketika berada di dalamnya, saya puas sekali ketika perahu yang terus berayun tinggi dan seperti tidak akan pernah berhenti itu akhirnya selesai juga. Saya puas karena saya dapat merasakan sensasinya. Tapi saya lebih puas karena dapat menundukkan ketakutan dan persepsi saya sendiri. Meskipu turun dari sana, saya merasakan desakan kuat mengaduk-aduk lambung.

Di waktu yang lain, saya memandangi deretan ayunan yang terus berputar makin cepat dan berayun makin tinggi. Sebagian besar penumpang tampak gembira, tapi saya menemukan seorang gadis cantik dengan ekspresi sangat menderita. Saya bertanya kepada ukhti, teman seperjalanan saya yang pernah menaiki wahana ini sebelumnya: seberapa buruk wahana ini? “Much more worse than kora-kora! It felt never end up!” demikian katanya. Saya ragu. Memang benar, wahana ini satu putaran berlangsung hingga 15 menitan. Sanggupkah saya menahan perut teraduk-aduk tiga kali lebih lama di banding kora-kora? Saya memutuskan untuk nekat mencoba. Namun ketika saya sudah sampai di ujung depan antrian, saya sempat keluar dari gelanggang. Takut! Tapi kemudian saya mengulang antrian lagi. “Saya tidak akan pernah tahu rasanya seperti apa jika saya tidak mencoba!” Alasan itu saya patrikan kuat-kuat dalam hati. Dan ternyata, saya bukan hanya dapat menahankannya, saya bahkan menikmatinya! Sangat menikmatinya! Rasanya seperti terbang, melayang. Sambil memejamkan mata saya menikmati sapuan angin yang berkesiur di sekeliling saya. Ketika ayunan bergerak makin cepat dan tinggi, saya menikmati sensasi dan suara-suara gemerincing besi yang ditimbulkannya. Rasanya tidak ingin pernah berhenti!

Pada kesempatan berikutnya lagi. Bersama teman-teman, saya mengambil antrian di wahana kora-kora untuk yang kedua kali petang itu. Saya harus dapat menikmatinya, bukan sekedar menahankannya seperti pada kesempatan sebelumnya. Meskipun senang dan puas dapat menaiki kora-kora, sebelumnya saya tidak dapat menahan gemetar di kaki dan rasa mencelos di hati. Serasa isi perut saya dilolosi. Tapi kali ini, saya ingin merasakan sensasi yang berbeda. Saat perahu berayun makin tinggi dan lama (lebih tinggi dan lebih lama dari kondisi biasa, karena sudah mendekati waktu tutup) saya merasakan kegembiraan dan keasyikan yang luar biasa. Benar-benar serasa menaiki perahu meniti ombak! Oh tidak! Serasa terbang (sungguh saya sangat suka terbang dan melayang) Oh, bukan juga. Rasanya seperti diayun dan dininabobokkan. Saya gembira sekali berhasil mendapatkan sensasi berbeda, meskipun ketika turun, mual dan pusing itu tetap saja mendera.

Tapi dari semua itu saya belajar banyak hal: Bisa atau tidaknya kita melakukan sesuatu tidak akan pernah kita tahu jika kita tidak mencobanya. Menakutkan atau menyenangkannya sesuatu akan sangat tergantung dari pemahaman dan persepsi yang kita bangun sendiri.

Sekian tahun yang lalu.

“Saya tidak akan sanggup menjadi ibu bekerja kantoran seperti itu. Bagaimana saya akan dapat mendidik anak-anak saya?”

“Saya akan cari pekerjaan yang ‘aman’ saja: islami dan tidak ada praktek-praktek kotor membudaya!”

Beberapa tahun kemudian.

“Kamu tidak ingin kuliah lagi?”

“Hmm, saya takut tidak bisa. Tidak mampu. Soalnya saya tidak menguasai ilmu keahlian dasar dari kampus saya yang kemarin. Nanti kalau tidak lulus bagaimana? Apalagi saya kan lemah untuk urusan penelitian dan karya ilmiah. Khawatir nanti mentok di thesis!”

“Hei, kok begitu? Kamu meragukan karunia Allah berupa otak dengan potensi satu juta gigabyte itu? Cobalah! Tidak ada ruginya kan? Kalau kamu tidak pernah mencoba, kamu tidak akan tahu seberapa mampu dirimu!”

Beberapa waktu yang lalu.

“Kamu berani tidak menyatakan diri minta dilamar terlebih dulu?”

“Ah, takut! Menghancurkan harga diri perempuan itu namanya. Lebih baik tidak pernah tahu daripada harus tahu nantinya bahwa aku gagal dan sakit.”

“Oh, mengapa sudut pandangnya itu? Bukankah dengan menyatakannya –sekalipun ditolak nanti- kamu akan tahu dan tidak perlu penasaran lagi.”

Dan saya nekat. Kenyataannya, saya memang ditolak. Gagal. Sakit. Serasa dihempas ke bumi. Tapi saya tidak penasaran lagi. Tapi kemudian semuanya membuat saya lebih mengerti. Membuka apa yang selama ini tak tampak oleh mata ini.

Dialog-dialog itu, pernah menjadi bagian dari proses hidup saya. Sikap-sikap itu, pernah menghiasi pilihan-pilihan hidup saya. Ketakutan, perasaan tidak mampu, tidak berani mencoba dan sebagainya. Sengaja kalah, bahkan sebelum berperang. Tapi kini, semua yang telah saya lalui membuat saya berani memilih: saya akan selalu memilih untuk maju dibanding mundur. Gagal atau berhasil, itu urusan nanti!

Ibarat mendaki gunung, pilihan sikap yang diambil pun bisa berbeda-beda. Pertama, melihat gunung yang demikian tinggi dan terjal, seseorang mungkin akan memilih untuk memutuskan tidak pernah akan mendaki. Takut. Mustahil. Berat. Capek. Untuk apa? Sedang di kakinya suasana lebih sejuk, indah dan banyak teman?

Kedua, gunung itu memang tinggi dan terjal, namun pastilah ada tempat-tempat yang lebih indah dan asyik untuk bercengkerama di suatu tempat di atas sana. Dan berdasarkan pemikiran itu, ia mendaki. Kalau ada jalan yang enak, ia akan memilih jalan itu. Bukankah biasanya disediakan jalan yang nyaman bagi para wisatawan? Senang rasanya mendaki, ada berbagai tantangan dan ada cukup banyak teman. Saat tiba di hamparan taman, maka ia pun berkemah. Kalau perlu menetap. Di sini sudah cukup enak. Kita sudah cukup tinggi mendaki. Tak usahlah menempuh yang lebih berbahaya lagi, tanpa jaminan yang pasti.

Ketiga, wah, gunung ini tinggi dan ngeri. Pasti berat dan susah untuk mencapainya. Bisa jadi atau bahkan hampir pasti begitu. Tapi bukankah kita dikaruniai kreatifitas, semangat dan kemampuan untuk menaklukkannya? Mengapa tidak kita coba? Semua pengorbanan itu akan sangat ‘worthed’ untuk mendapatkan keindahan di puncak sana kan? Atau setidaknya kita akan mendapatkan pengalaman yang tak mungkin dapat dirasakan oleh mereka yang memilih untuk tidak pernah mendaki, atau mereka yang mendaki untuk berkemah di tempat yang nyaman.

Hidup dengan permasalahannya bagaikan mendaki gunung terjal dan berliku. Dapat atau tidaknya kita menaklukkannya akan sangat tergantung pada paradigma dan pilihan sikap kita masing-masing. Apakah kita akan memilih menyerah bahkan sebelum mendaki, atau tetap mendaki beramai-ramai dan berhenti ketika telah menemukan tempat yang nyaman, atau tetap terus mendaki bersama segelintir orang dari puncak yang satu ke puncak yang lain. Dari gunung yang satu ke gunung berikutnya.

Surga dan kenikmatan hari akhir juga seperti gunung yang bertingkat-tingkat. Untuk mencapainya seperti mendaki gunung. Mungkin ada yang merasa cukup puas di kakinya saja, di lerengnya atau tetap berusaha sekuat daya dan kreatifitas untuk menggapai puncaknya.

Semuanya adalah pilihan. Dan setiap pilihan memiliki resiko dan hasilnya masing-masing. Tinggal seberapa besar kita memiliki nyali untuk memilih: Menjadi Quitters? (golongan yang cepat menyerah pada/menghindar dari tantangan?) Menjadi Campers? (Mendaki dan kemudian berhenti ketika merasa sudah cukup nyaman dengan sebuah situasi/ mencintai status quo) Atau mejadi Climbers? (Terus mendaki dan mendaki, hingga puncak pun terlalui. Aku bertanya dalam hati: Yang manakah diriku?

Azimah Rahayu
Azi, 19 Agustus 05, qabla wa bakda shubuh
www.eramuslim.com

0 komentar:

Posting Komentar