"Dari hari ke hari," kata Nasrudin kepada istrinya, "aku merasa semakin kagum akan penciptaan alam, dan segalanya yang ada di dunia ini dibuat demi kesejahteraan manusia."
Istrinya meminta Nasrudin memberi sebuah contoh.
"Misalnya saja, bahwa dengan rahmat Allah, unta-unta itu tidak punya sayap."
"Bagaimana hal itu bisa dikatakan membantu menyejahterakan kita?"
"Bayangkan! Kalau saja unta-unta itu punya sayap betapa mereka akan senang bertengger di atas rumah dan kemudian merusakkan atap, dan kemudian tidak peduli terhadap keributan yang mereka ciptakan itu."
Aku Percaya Engkau Benar
Suatu kali Nasrudin bertindak sebagai seorang hakim. Pada saat kasus diungkap, penuntut berbicara begitu memikat sehingga Nasrudin berteriak:"Aku percaya, engkau benar!" Anjing di Kakinya
Seorang petugas pengadilan membujuk Nasrudin agar bisa lebih menahan diri, karena pernyataan dari tertuduh belum lagi didengar.
Selanjutnya, Nasrudin juga begitu terpikat oleh kepandaian bicara si tertuduh sehingga ia langsung berteriak setelah orang itu menyelesaikan pernyataannya: "Aku percaya engkau benar!"
Petugas pengadilan merasa tidak dapat membiarkan hal ini terjadi.
"Tuanku, tidak mungkin keduanya sama-sama benar."
"Aku percaya engkau pun benar!" kata Nasrudin.
Nasrudin sering berjalan-jalan di kuburan, memikirkan perihal kehidupan dan kematian. Suatu hari, ketika ia sedang asyik dengan kegiatannya itu, ia melihat seekor anjing galak sedang berada di dekat sebuah makam. Tangga yang Akan Dijual
Dengan marah, diambilnya sebuah tongkat dan diusirnya anjing itu. Tapi si anjing hanya menggeram, dan sepertinya melotot akan melompat ke arahnya.
Nasrudin bukanlah orangnya yang mau begitu saja dihadapkan pada bahaya jika hal itu memang bisa dihindari. "Duduk saja di situ," katanya membujuk si anjing, "tidak apa-apa, selama engkau hanya meringkuk di kaki manusia yang telah mati itu."
Nasrudin memanjat sebuah dinding, lalu tangga yang dipakainya ditarik dan diletakkan di kebun tetangganya. Pemilik kebun ternyata memergokinya, dan bertanya apa yang sedang ia lakukan di sana. Sop Panas, Tangan Dingin
"Aku... punya sebuah tangga yang akan kujual," ujar Nasrudin berimprovisasi.
"Dasar bodoh!" kata sang tetangga. "Kebun itu bukan tempat menjual tangga."
"Kamu yang tolol," kata Nasrudin. "Kamu belum tahu? Tangga itu bisa dijual di mana pun."
Seorang laki-laki yang mendengar bahwa Nasrudin adalah orang yang amat bijaksana, bertekad mengadakan perjalanan guna menemuinya. "Aku bisa mempelajari sesuatu dari orang bijaksana seperti ini," pikirnya. Hadiah
"Dan, pasti ada metode-metode tertentu dalam kegilaannya. Aku sendiri pernah belajar di sekolah-sekolah metafisik. Ini akan membuatku bisa menilai dan mempelajari kegagalan orang lain."
Selanjutnya, ia mengadakan perjalanan yang amat melelahkan untuk sampai ke rumah Nasrudin yang kecil, berada di lereng sebuah bukit. Melalui jendela, laki-laki itu melihat Nasrudin sedang membungkuk di samping bara api, mencoba meniupnya ke arah tangannya yang ditekuk. Ketika kehadirannya diketahui, laki-laki ini bertanya kepada sang Mullah tentang apa yang sedang dikerjakannya.
"Menghangatkan tanganku dengan napasku," kata Nasrudin memberi tahu. Setelah itu, keduanya sama-sama diam, sehingga pencari ilmu ini mulai berpikir apakah Nasrudin bersedia membagi kebijaksanaannya.
Sekarang, istri Nasrudin ke luar membawa dua mangkuk kaldu. "Mungkin sekaranglah saatnya aku mempelajari sesuatu," kata si pencari ilmu kepada dirinya sendiri.
Dengan suara keras, ia bertanya, "Apa yang sedang engkau lakukan, Guru?"
"Meniup kalduku dengan napasku agar dingin," kata sang Mullah.
"Tak salah lagi, ini orang, pasti penipu," kata sang tamu kepada dirinya sendiri. "Tadi dia bilang, meniup agar panas, lalu barusan dia berkata, meniup agar dingin. Bagaimana aku bisa percaya dengan apa yang ia akan katakan kepadaku?"
Dan laki-laki itu pun pergi.
"Bagaimana pun, waktu tidak sia-sia," katanya kepada dirinya sendiri, ketika ia menuruni bukit.
"Paling tidak, aku sudah tahu bahwa Nasrudin itu bukan seorang guru."
Nasrudin punya sebuah kabar baik untuk sang Raja. Dan setelah dengan susah payah berusaha menghadap raja, akhirnya ia pun bisa menceritakan berita baik itu. Bukan Urusanku
Raja tampak gembira mendengar cerita Nasrudin. "Pilih sendiri, hadiah apa yang kau inginkan," katanya.
"Lima puluh cambukan," kata Nasrudin.
Meskipun terheran-heran, Raja memerintahkan juga agar Nasrudin dicambuk.
Ketika cambukan sudah sampai ke yang dua puluh lima, Nasrudin berteriak: "Berhenti!"
"Sekarang," katanya, "bawa masuk temanku, dan beri ia setengah dari hadiah yang kuperoleh. Tadi aku telah bersumpah untuk memberinya setengah dari hasil yang kuperoleh karena kabar baik yang kusampaikan itu."
Keledai Nasrudin dicuri orang. Ia segera mengadu ke polisi.
"Mullah," ujar Kepala Polisi, "ini masalah serius. Kita akan berusaha keras agar keledai Tuan kembali. Di samping itu, Anda termasuk orang penting. Sekarang ceritakanlah dari mula, bagaimana hal itu bisa terjadi?"
"Karena aku tidak ada di sana, sulit bagiku untuk menceritakan urutan kejadian itu. Betul kan?" kata Nasrudin. "Di samping itu, bukan urusanku untuk mengetahui hal itu."
[dari humorsufi3]
0 komentar:
Posting Komentar