Selasa, Desember 28, 2010

Antara Bukit Uhud dan Bukit Jalil


dakwatuna.com – Bismillaahirrohmaanirrohiim. Bukit Uhud menjadi saksi, tentang sifat manusia yang melalaikan amanah, sulitnya menjaga keistiqamahan terkalahkan oleh sifat serakah hawa nafsu syaitan yang menggoda dalam jiwa manusia. Sedikit lengah akan menjadi celah masuknya ruh – ruh kesesatan yang menusuk dan bersemayam di hati (Al-Biruni98, ref.). Kemenangan yang di depan mata berubah menjadi malapetaka yang menyayat jiwa.

Bukit Uhud



Hari-hari sebelumnya kita menyaksikan, keserakahan meng”klaim” kesuksesan sesaat timnas kita. Tak kurang dari tukang becak hingga sang Nahkoda negeri membusungkan dadanya tinggi-tinggi. Begitu jumawanya para tokoh kita menunjukkan “andil-andil” semunya. Akan tetapi mentalitas pemenang kita diuji malam ini. Bahwa menang tidaklah sekadar kemenangan materi, ia perlu kemenangan jiwa.

Betapa saat itu pula, ketika Rasulullah diisukan wafat oleh pasukan di peperangan, barisan muslimin menjadi kocar kacir tak beraturan. Hanya sahabat teruji saja yang terus tenang dan melindungi Rasulullah, menahan bertubi-tubi serangan panah, pedang bahkan tombak. Ada bahkan yang terluka hingga 70 puluh titik di sekujur tubuhnya, demi Rasulullah saw.

Mungkin begitu pula jadinya setelah kekalahan timnas kita malam ini di Stadion Bukit Jalil, banyak orang yang lari bersembunyi dari dukungan. Mentalitas pendukung pun teruji dan tersaring. Itu sudah terlihat ketika pertandingan belum habis saja, beberapa penonton sudah meninggalkan tribun stadion. Banyak pendukung “si ganteng” yang kemudian tak lagi berteriak histeris. Tidak lagi ada pejabat yang berkomentar membanggakan andil kesalahannya. Tidak, sekali-kali tidak. Apakah kemudian sang jumawa itu mau bertanggung jawab atau mengundurkan diri? Kita tunggu.

Warna sejarah yang cukup kelam itu tidak lantas menghantamkan celaan pada veteran perang Uhud. Pihak sahabat yang tadinya “kalah” pendapat dalam musyawarah penentuan perang tetap tawadhu menyadari bahwa kekalahan tersebut adalah buah kehendak Allah ta’ala dan hasil kerja berjamaah. Mereka semua lantas hanya menjadi saksi utuh sejarah, menjadi pelajaran hikmah sepanjang masa bagi manusia setelahnya. Bahkan Allah swt pun menghibur mereka, diabadikan dalam kitab yang paling mulia, al-Qur’an :

“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pula (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim.”(Qs Ali Imran: 139-140).

Satu hal penting, penonton itu bukan pemain dan pemain bukan pula penonton apalagi sekadar komentator belaka. Pemain yang menentukan feedbacknya, ia sendiri yang menjadi dirijen perjuangan. Ketika sorak sorai berubah seketika menjadi cemooh, hujatan, makian bahkan terkadang intimidasi, yang diperlukan adalah turn-over mentalitas. Momentum kekalahan ini yang harus digapai menjadi ketegaran. Agar kekalahan ini justru menjadi cambuk, memisahkan antara pendukung musiman dengan pendukung sejati, memisahkan antara “si famous” an sich dengan si “marvelous”. Mana si pendompleng dan mana si penumpang sungguhan.

Bukit Jalil

Rasulullah saw seketika sekembalinya di Madinah dari Bukit Uhud, langsung menyuruh sahabat untuk melakukan ekspedisi-ekspedisi pasukan, sariyah, mengejar pasukan Quraisy yang hendak kembali ke Makkah. Ketahuan pula pada akhirnya tabir persekongkolan kaum munafiqin dan Yahudi Madinah. Mereka bagai musang berbulu ayam. Maka Rasulullah saw memerangi dan mengusir mereka semuanya. Semua untuk mengembalikan mentalitas berjihad kaum muslimin ketika itu. Rasulullah saw tahu celah mentalitas itu.

Maka tidak ada waktu bagi kita hanya untuk mencemooh, hanya menyalahkan, apalagi mundur ke belakang. Mudah-mudahan pendukung yang telah rela berhari-hari menunggu mabit di stadion hanya untuk mencari selembar tiket “si rakus” itu, tetap bertahan meneruskan perjuangannya. Tidak ada kata menyerah kalah sebelum lari, lompatan, sundulan dan peluh itu sekadar rekaman video sejarah yang diputar laris di pemberitaan.

Mungkin terlalu berlebihan bagi sebagian orang, bahwa tulisan ini mencoba mengkaitkan dua “bukit” tersebut, tapi saya yakin sejarah dapat berulang dalam bentuk dan waktu yang lain. Hari esok adalah milik para pemenang!

SALAM SATU JIWA! ALLAHU AKBAR!

(hdn)

0 komentar:

Posting Komentar