Kamis, September 08, 2011

Tour de Dieng – Dieng Plateau, Wonosobo, Jawa Tengah (Day 3rd & 4th)

Sabtu. 3 September 2011

04:30-07:00

Subuh pertama di dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau). Kami melaksanakan shalat berjama’ah di penginapan di tengah udara dingin yang menusuk. Suhu di dalam ruangan menurut thermometer menunjukkan 15 derajat celcius, Wah apalagi diluar ya. Akhirnya kami tunggu matahari mulai bersinar untuk keluar dan exploring Dieng agar tidak terlalu dingin. Setelah shalat, kami menghangatkan tubuh kami dengan kopi luwak dan radix sambil bincang-bincang dengan pak Ahmad Haidar pemilik penginapan tersebut. Ternyata beliau menawarkan sarapan kentang goreng. Ya memang hasil bumi dataran tinggi Dieng selain purwaceng (semacang ginseng) juga kentang. Bahkan pak Haidar sendiri dulu pernah menjadi pemasok kentang dari Dieng ke pasar induk Kramat Jati di Jakarta.

Pak Haidar begitu baik kepada kami sampai-sampai ia mengupaskan sendiri kentang-kentang untuk sarapan kami, dan ia pula yang menggorengnya. Sehingga kami merasa malu dalam hati karena telah menawar harga penginapan dari Rp 125.000,- menjadi Rp 100.000,-. Karna hal itu pulalah menjelang pulang kami pun menambahkan kembali harga sewa tersebut menjadi Rp 130.000,-. Sekali lagi kami merasakan kehangatan, kebaikan dan keramahan masyarakat Jawa Tengah khususnya Dieng.

Setelah sarapan, saya memberanikan diri mandi pagi itu. Karna saya merasa dengan mandi jusru akan lebih menghangatkan tubuh meskipun harus menahan dinginnya air yang sangat menusuk hingga ke tulang. Benar saja ketika gayungan pertama air menyentuh tubuh terasa sangat dingin sekali, bahkan bro Medi sampai harus teriak menahan dinginnya air. Alhamdulillah usai mandi badan terasa lebih hangat, rasa dingin lebih terfokus hanya pada jari-jari saja.

07:00-15:00

Nampaknya matahari sudah mulai menghangatkan tanah Dieng, sehingga kami memberanikan diri keluar dan mulai mengeksplor dataran tinggi Dieng. Dieng Plateau adalah sebuah dataran tinggi yang menjadi hunian penduduk, dengan ketinggian 2300 mdpl menyebabkan udara di dataran tinggi Dieng begitu dingin. Penduduknya harus selalu menggunakan jaket terutama pada malam hari. Karna saking dinginnya penduduk tersebut ada yang jarang mandi, Ada yang mandi hanya sekali saja entah itu pada pagi hari atau sore hari saja.

Sindoro dari Dieng

Dataran tinggi dieng dikelilingi oleh empat buah gunung yaitu: gunung Prau, gunung Sikunir, gunung Sindoro dan satu lagi saya lupa. Ada begitu banyak tempat wisata di dataran tinggi Dieng yaitu; wisata candi, wisata telaga dan goa, wisata sunrise atau gunung, wisata kawah dan air terjun serta wisata theater. Karena keterbatasan waktu, tidak semua wisata tersebut bisa kami sambangi.

Candi Pandawa Lima

Tempat wisata yang pertama kami datangi adalah Candi Pandawa Lima, mungkin disebut pandawa lima karena di situ terdapat lima buah candi. 4 buah candi terkumpul di komplek candi Arjuna dan satu lagi terpisah yaitu candi setyaki.

Tiket masuk ke komplek candi ini Rp 10.000,- sudah termasuk wisata ke telaga Balai Kambang dan kawah Sikidang. Sayangnya telaga Balai Kambang yang kami datangi sedang kering sehingga tidak terlihat keindahannya mungkin karena kemarau yang cukup panjang.

komplek candi Arjuna

Gunung Prau

menuju gunung Prau

Gunung prau bukanlah jalur wisata resmi dataran tinggi Dieng, sehingga jarang pengunjung ada yang kesana. Namun kami mencoba untuk kesana sambil bertanya-tanya. Ada yang mengatakan butuh waktu 3 jam untuk sampai ke puncak gunung Prau, ada juga yang mengatakan cuma butuh setengah jam. Kami coba hiking kesana dan membawa motor kami sejauh bisa dinaikkan ke atas gunung tersebut. Motor kami terhenti di ladang yang luas dengan jalur yang sempit namun bercabang-cabang sehingga membuat kami bingung harus mengambil jalur yang mana, sementara di depan terlihat gunuung Prau menganga begitu luas dan lebar. Karna waktu itu sudah menjunjukkan hampir pukul 11:00 dengan kebutaan kami terhadap jalur prau, tentu berisiko dan kalau pun kami mampu sampai ke puncak gunung Prau kami yakin kami akan tiba di bawah lagi sudah lewat maghrib. Akhirnya kami urungkan niat kami mendaki gunung Prau dan kami menuju gunung Sikunir.

Telaga Kecebong dan Gunung Sikunir

telaga Kecebong

Telaga Kecebong dan Gunung Sikunir sebenarnya terletak di desa lain dari desa Dieng. Bila dari arah Wonosoboketika sampai di Dieng kita mengambil jalur ke kiri terus mengikuti jalan hingga jalan berakhir mentok di telaga kecebong dan gunung Sikunir, tak ada jalan lagi setelah itu. Sepanjang perjalanan sekitar 5 km dari desa Dieng kita ditawarkan oleh panorama cukup indah dengan awan yang berada di bawah kita.

Telaga Kecebong terletak persis di bawah gunung Sikunir, untuk masuk ke wisata ini kita hanya dimintai harga tiket sebesar Rp 3.000,-. Telaga ini menjadi sumber air bagi warga setempat, viewnya pun cukup indah untuk hunting poto, kami menyempatkan mengelilingi telaga ini menggunakan perahu dengan biaya Rp 5.000,-/orang.

puncak Sikunir

Dari telaga Kecebong kami mendaki gunung Sikunir, butuh waktu sekitar 1/2-1 jam hiking mencapai puncak gunung Sikunir dengan ketinggian sekitar 2600 mdpl. Dari puncak Sikunir kita dapat melihat view gunung Sindoro dan kota Wonosobo. Sebenarnya wisata gunung Sikunir adalah wisata pagi atau wisata sunrise, sayangnya semalam kami terlalu letih sehingga tidak terpikir untuk melihat sunrise di gunung Sikunir pada subuh harinya.

Di puncak gunung Sikunir terdapat sebuah gua yang sepertinya jarang terjamah. Kami tak tahu seberapa besar gua tersebut karena begitu gelap dan kami pun khawatir terdapat ular terlebih kami sendiri tidak membawa senter, yang jelas dengan keberadaan gua tersebut menambah sedikit misteri mengenai puncak gunung Sikunir.

Kawah Sikidang

Pegunungan Dieng memiliki beberapa buah kawah, di antaranya kawah Sikidang, kawah Timbang yang belum lama ini sedang bergejolak, dan lainnya sehingga dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga panas bumi. Satu kawah yang kami kunjungi adalah kawah Sikidang, sebuah kawah kecil dengan telaga yang mendidih airnya serta asap yang mengepul. Pengunjung tidak boleh terlalu dekat, karna itu kawah tersebut dijaga oleh pagar kayu. Memang ketika saya sampai di sana, baunya begitu menyengat bahkan hinga radius ratusan meter, karna itulah kami pun tidak ingin terlalu berlama-lama disana.

DPT (Dieng Plateau Theatre)

Untuk mengetahui sejarah terbentuknya dataran tinggi Dieng yaitu dengan meletusnya kawah Sinila, kita bisa mengetahui sejarahnya dengan menonton tayangan sejarah di DPT (Dieng Plateau Theatre) dengan tiket masuk seharga Rp 3.000,-. Namun sayang saat itu antrian cukup panjang sehingga kami mengurungkan niat kami menonton tayangan sejarah tersebut.

Telaga Warna

Telaga Warna menampilkan panorama yang sangat indah. Ada beberapa hal yang membedakan antara telaga warna di Dieng dengan telaga warna di gunung Gede-Pangrango:

Telaga warna di Dieng jauh lebih luas daripada telaga warna di Gede-Pangrango. Telaga warna di Gede Pangrango hanya menampilkan satu warna saja dalam satu musim kemudian berubah pada musim lainnya menjadi warna lain, sedangkan telaga warna di Dieng menampilkan warna-warna yang lebih dari satu tanpa dipengaruhi musim. Hal ini karena warna pada telaga di Gede-Pangrango dipengaruhi oleh banyak-sedikitnya tanaman sub montanan di dasar telaga, sedangkan warna pada telaga di Dieng dipengaruhi oleh belerang pada dasar telaga tersebut.

Di sekitar telaga terdapat 3 buah gua, di antaranya gua Semar dan gua Sumur, namun karena gue itu ditutup oleh pagar sehingga tidak membuat kami terlalu tertarik melihat gua tersebut dan kami urung untuk mencari gue yang ketiga.

Setelah dari telaga warna kami pun merasakan lelah dan lapar, kami putuskan makan siang di sekitar telaga warna, namun harga makanan disini sangat mahal. Harga sepiring nasi dan gule ditambah air teh hangat seharga Rp 20.000,-, maklumlah daerah wisata.

15:00-19:00

Kami kembali ke penginapan dengan rasa lelah dan letih yang sangat. Setiba di penginapan pak Haidar pun bertanya kita kemana saja. Kami bercerita tentang gagalnya kami ke gunung Prau, hingga ia menawarkan untuk mengantar karna menurutnya cuma 1/2 jam saja. Kami sempat tertarik dan berpikir untuk kembali ke jakarta esok hari. Namun karna rasa letih saya yang teramat sangat saya mempersilahkan bro Dani dan Medi ke gunung Prau dan saya menunggu di penginapan. Namun bro Dani pun enggan karna ketidak ikutan saya dan akhirnya kami pun lebih memilih istirahat tidur dan mandi mempersiapkan perjalanan pulang menuju Jakarta selepas maghrib.

19:00

Kami berangkat pulang menuju Jakarta melewati jalur Wonosobo, karna jalut ini sepertinya lebih mudah tidak terlalu panjang melintasi jalur pegunungan berkabut. Setengah jam kemudian kita pun sudah sampai di kota Wonosobo, lalu lanjut menuju Banjarnegara dan berisitirahat makan sate sejenak di rumah makan Sate Inung.

Perjalanan kami lanjutkan, kami putuskan lewat Purwokerto, akan tetapi kami sempat kebingungan memasuki kota Purwokerto sehingga membuat jarak tempuh kami membengkak, dan parahnya di kota ini pula Supri pun bocor lagi bannya pada malam hari sekitar pukul 00.00. Alhamdulillah 1 km ke depan kita temukan tukang tambal ban yang masih buka. perjalananpun bisa dilanjutkan. Pada pukul 02:00 kami merasa begitu lelah sehingga kami putuskan untuk bermalam di masjid Baitul Mu’min Karang Pucung, Majenang.

Pada pukul 07:30 keesokan harinya kami keluar dari Masjid tuk mencari bengkel Ahass Honda untuk tune up Siti dan Supri. Ternyata kami menghabisan waktu cukup lama di bengkel hingga pukul 11:00. Setelah itu perjalanan kami lanjutkan dan ketika memasuki Ciamis lalu lintas macet total, disinilah kami terpisah. Lalu lintas pun dialihkan oleh polisi melalui kota Tasik sedangkan bro Dani dan Medi lebih memilih mengambil jalur utara.

Dari kota Tasik lalu lintas cukup lancar namun di Ciawi hingga Limbangan seolah tidak ada harapan untuk bergerak. Namun alhamdulillah ada penduduk yang memberi petunjuk jalan memutar melewati perkampungan sedikit membelah bukit, saya putuskan mengambil jalan itu meskpun sangat rusak namun alhamdulillah macet bisa dilewati. Saya pun tiba di Nagreb mahhrib dan saya putuskan terus riding sendirian setelah istirahat sebentar melibas Cileunyi, Bandung, Cimahi dan Padalarang. Barulah di Citata saya beristirahat cukup lama di SPBU untuk shalat dan makan malam.

Setelah itu perjalanan saya lanjutkan menuju Puncak dengan kecepatan rata-rata berkisar 100 km/jam. Hanya butuh waktu satu setengah jam saya sudah tiba di Puncak karena memang lalu lintas sangat kosong tidak ada halangan yang berarti. Seperti biasa di Puncak saya sempatkan berhenti sejenak menikmati suasana puncak dengan bandrek.

Usai menikmati bandrek perjalanan menuju Jakarta berlanjut, lalu lintas kosong sehingga memungkinkan saya memacu sepeda motor saya hingga kecepatan 110 km/jam. Dan alhamdulillah 2 jam kemudian saya sudah tiba di Jakarta dengan selamat.

the end

0 komentar:

Posting Komentar