Kamis, September 08, 2011

Tour de Dieng – Dieng Plateau, Wonosobo, Jawa Tengah (Day 2nd)

Tour de Dieng – Dieng Plateau, Wonosobo, Jawa Tengah (Day 2nd)

oleh Tuan Lee pada 06 September 2011 jam 11:45

Jum’at, 2 September 2011

04:30-06.00

Suara adzan subuh dengan nada khas tanah pasundan di sebuah masjid pinggiran kota Garut membangunkan kami dari tidur lelap kami di masjid tersebut. Alhamdulillah badan sudah terasa bugar meski tidur hanya sekitar 3 jam saja. Kontan saja kita nikmati subuh di kota tersebut, kami iringi dengan do’a-do’a yang kami panjatkan kepada Allah ta’aalaa dengan harapan Ia mengijabah do’a kami selaku musafir. Selepas shalat kami bersantai sejenak, menikmati kopi luwak dan kopi radix yang kami bawa dari Jakarta sambil mencharge HP kami di masjid tersebut.

06:00 – 11:00

Perjalanan kami lanjutkan, lalu lintas sudah mulai lancar sehingga riding pagi menyusuri pegunungan kota Garut begitu enak dinikmati dengan jalurnya yang berkelok-kelok tersebut. Sesampai di Malangbong (perbatasan Garut-Tasikmalaya) kami istirahat sejenak mengisi perut kami dengan sarapan bubur ayam. Setelah itu perjalanan kami lanjutkan lagi melintasi kabupaten Tasikmalaya. Di daerah Rajapolah yang terdapat jembatan layangnya kami mengambil jalur lurus melewati jembatan tersebut yang mengarah ke Ciamis dan Jawa Tengah, bila mengambil jalur kiri akan menuju pusat kota Tasikmalaya. Sesampai di Prancis (PRApataN CIamiS) kami istirahat sebentar di SPBU karna harus ke toilet. Tak lama kemudian perjalanan kami lanjutkan lagi menyusuri jalan raya Ciamis-Banjar yang lengang dan berliku hingga kami berhenti di kota Banjar tuk istirahat kembali, yah beginilah riding kami terlalu banyak istirahat, namun dinikmati saja.

Di kota Banjar, suasana pantai Pangandaran cukup terasa disini dengan banyaknya warung-warung tenda di pinggir jalan, padahal pantai Pangandaran sendiri masih cukup jauh dari kota ini. Setelah istirahat sebentar tuk minum dan ke toilet perjalanan pun kami lanjutkan kembali hingga tiba di tugu perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah kita berhenti sejenak untuk foto-foto sebagai kenangan. Suasana begitu panas di daerah tugu perbatasan tersebut sehingga tidak enak untuk berlama-lama. Perjalanan pun berlanjut, kali ini kami sudah melintasi daerah Jawa Tengah, kota yang pertama kali kami lewati adalah Wanareja. Mulai dari sinilah kami bertiga benar-benar buta jalur ini, karena saya sendiri riding motor terjauh di jalur ini hanya sampai kota Banjar. Akhirnya di sebuah SPBU di kota Wanareja kami berhenti sejenak untuk navigasi dengan GPS yang ada di BB. Setelah mendapatkan gambaran rute, perjalanan kami lanjutkan dan kita sepakati kita akan terus berjalan hingga pukul 11.00 siang untuk istirahat, makan dan shalat Jum’at.

11:00-13:00

Pukul 11:00 pun tiba dan kami sudah sampai di kabupaten Banyumas, tepatnya beberapa kilometer sebelum kota kecil Wangon. Kami pun berjalan perlahan sambil mencari rumah makan yang nyaman untuk sekaligus istirahat. Akhirnya kami menemukan rumah makan soto dan bakso yang built ini dengan rumah pemiliknya. Segera saja kami sambangi dan alhamdulillah ternyata ibu pemilik warung tersebut begitu sangat ramah kepada kami, sehingga memungkinkan kami untuk istiraha disitu cukup lama, tidur-tiduran, mencharge HP bahkan bolak-balik ke toilet. Di sinilah kami mulai merasakan keramahan penduduk Jawa Tengah.

Ketika adzan dzuhur berkumandang kami berangkat ke masjid yang jaraknya sekitar 400 m dari rumah tersebut. Semua perbekalan termasuk HP dan motor pun kami titip di rumah tersebut. Kami memutuskan jalan kaki ke Masjid supaya ga bosan di atas motor terus.

Well…. ritual shalat jum’at di desa tersebut ternyata di luar dugaan saya. Tadi saya pikir akan menemukan ritual macam-macam seperti yang biasa saya temukan di perkampungan di luar kota Jakarta, seperti khutbah bahasa Arab, cerita berbagai kisah sebelum khutbah dll. Namun ternyata ritual jum’at di desa tersebut sama persis dengan kebanyakan yang ada di kota Jakarta. Kami duduk di dalam masjid tersebut mendengarkan khutbah, beberapa orang dari penduduk tersebut menoleh kepada kami tanpa ada pandangan aneh terhadap kami seolah mereka menampakkan wajah selamat datang kepada kami. Yah begtulah shalat jum’at di desa tersebut cukup kami nikmati, setelah menjama’ dengan shalat ashar sekali lagi kami panjatkan do’a-do’a kami kepada Allah ta’aalaa sebagai musafir kami berharap do’a-do’a tersebut pun segera diijabah oleh-Nya. Aamiiin.

Usai jum’atan kami kembali ke tempat istirahat sambil bersiap melakukan perjalanan kembali. Sebelumnya saya meminta dibuatkan es teh oleh pemilik warung tempat kami beristirahat namun ketika saya bayar malah ia tidak mau, terpaksalah saya selipkan uang tersebut dengan lebihan dikit diatas meja.

13:00 – 17:00

Perjalanan kami lanjutkan hingga sekitar satu setengah jam kami tiba di persimpangan Rawalo. Kami sempat bingung harus mengambil jalur kiri atau kanan. GPS menunjukkan arah terdekat adalah mengambil jalur kanan melewati Sampang dan Kemrajen kemudian ke kiri mengarah ke kota Banyumas, setelah di kota Banyumas mengambil kanan dan lurus terus hingga sampai Wonosobo. Akan tetapi penduduk setempat menyarankan mengambil jalur kiri melewati purwokerto kemudian mengambil kanan ke arah kota Banyumas lalu ke kiri menuju Wonosobo.

Setelah diskusi sebentar akhirnya kita sepakati mengambil jalur kanan melewati Sampang dan Kemrajen. Ternyata membaca jalur ini tidak semudah membaca jalur yang ada di GPS, mungkin karena jalanan cukup macet dan tidak terlalu berbeda antara jalur utama dan jalur alternatif atau atara jalan raya dan bukan jalan raya, semua hampir sama. Dan benar saja, kami merasa perjalanan kami sudah jauh namun ada yang terasa aneh. Ketika menemukan persimpangan jalan besar kami pun berhenti lagi untuk melihat GPS dan ternyata kami sudah melenceng sangat jauh dari jalur yang disarankan GPS. Saat itu kami sudah sampai di Gombong Kabupaten Kebumen. Berarti harus balik lagi, namun serasa berat bagi kami untuk balik lagi. Namun ketika kami melihat ada penunjuk arah ke Banjarnegara melalui jalur alternatif ke kiri maka kami bertanya ke tukang becak untuk memastikan. Tukang becak tersebut mengiyakan jalut alternatif ini bisa tembus ke Banjarnegara setelah di waduk Sempor belok kanan.

Akhirnya kita sepakat tuk mengambil jalur tersebut. Jalut alternatif ini begitu sempit, berliku dan naik turun, namun pemandangannya lumayan indah karna membelah bukit. Karna waktu sudah sore agar tidak kemalaman sampai di Dieng, maka saya putuskan lebih memacu motor kami berdua, dan alhamdulillah tak lama kemudian kami bisa tembus di jalan raya Banjarnegara-Wonosobo yang berarti kami sudah kembali ke rute yang benar.

Karena sudah merasa tenang, di Banjarnegara kami istirahat kembali, mengisi bahan bakar si Supri dan kita pun makan bakmi jamur. Di warung bakmi tersebut pemilik warung dan istrinya begitu ramah dengan lebih dulu menanyakan tujuan kami dan mereka pun menyarankan kalau mau ke Dieng sebaiknya jangan melalui Wonosobo karna khawatir macet di kota tersebut. Mereka menyarankan dari Banjarnegara tersebut mengambil ke kiri melalu jalur alternatif melewati pegunungan pasti akan terhindar oleh macet, dan jalanannya pun menurut mereka sekarang sudah bagus dan tak perlu khawatir tersasar karna ada petunjuk jalan menuju Dieng disana. Wah kami pikir sudah dekat nih maka kami putuskan mengikuti saran pemilik warung bakmi tersebut setelah selesai makan.

17:00-21:00

Ternyata saran yang kami ikuti dari pemilik bakmi tersebut tidak sedekat yang kami kira. Bahkan terlalu berat untuk dilewati pada malam hari. Hingga maghrib tiba petunjuk arah di jalur tersebut menunjukkan Dieng masih 30 km lebih lagi. Dengan demikian kami harus melalui jalur sempit pegunungan ini pada malam hari. Kabut pun turun, jarak pandang meskipun dengan lampu utama motor hanya sekitar 10 meter. Kami terpaksa jalan sangat pelan-pelan dan berhati-hati. Supri yang saat itu sengaja di depan agar tidak terlalu tertinggal oleh Siti berkali-kali sempat masuk ke jalur berlawanan dan hampir keluar jalur kekiri menyentuk dinding bukit, untung saja saya bisa mengawasi dari belakang sambil berteriak. Karna merasa lampu penerangan Supri ga bagus untuk menembus kabut akhirnya Siti kembali di depan, namun jalan tetap sangat perlahan dengan kecepatan antara 10-20 km/jam. Perjalanan semakin berat karna dingin khas Dieng mulai terasa menusuk tubuh. Saya yang kebetulan hanya menggunakan sarung tangan setengah jari merasakan beku di ujung-ujung jari sehingga hampir-hampir tidak sanggup memegang kendali motor. Namun uniknya ketika kami sudah bertemu perkampungan ternyata disitu masih ada SPBU Pertamina, well segera saja kami istirahat sejenak untuk melaksanakan shalat maghri dan isya di jama’ kembali.

Permasalahan bertambah ketika kami tiba di antara desa Wanareja (bukan kota Wanareja di Cilacap yang telah kami lewati) dan desa Grogol. Ban motor Supri kembali bocor pada pukul 19:30, saya pun sempat panik dan bingung hingga mengisi status di FB dengan “jangan menyerah” karena suasana saat itu begitu gelap dan sepi. Namun saya teringat firman Allah إن مع العسر يسرا (sesungguhnya dalam sebuah kesulitan ada banyak kemudahan). Akhirnya kami melanjutkan perjalanan semakin pelan lagi dengan keadaan supri gembos ban, Bro Dani pindah ke Siti dan Supri di bawa oleh Medi yang lebih kurus supaya tidak terlalu merusak ban.

Setelah beberapa saat berjalan kami menemukan perkampungan dan disitu ada tukang tambal ban yang sudah tutup. Medi yang bisa berbahasa Jawa kami minta untuk mengetuk pintu pemilik bengkel tersebut. Sang ibu pemilik bengkel tersebut keluar dan menyambut kami dengan ramah tanpa ada rasa curiga sedikitpun, namun ia meminta maaf karna suaminya sedang tidak ada di rumah jadi tidak mungkin bisa membantu. Beberapa warga yang baru usai melaksanakan shalat Isya di masjid pun menghampiri kami dan menyuruh kami ke atas sedikit karna di sana pun ada tukang tambal ban. Kami lanjut lagi ke atas dan tukang tambal ban disitu pun ternyata sudah tutup. Kami ketok pintu rumah pemilik tambal ban tersebut, cukup lama tidak ada yang menyahut, alhamdulillah setelah sekitar 10 menit ibu pemilik bengkel tersebut pun keluar namun sayangnya ia mengatakan suaminya pun sedang ‘mudun’ (turun ke bawah) jadi ga bisa bantu. Namun ia mengatakan ada lagi bengkel tambal ban ke atas namun cukup jauh di Desa Grogol atau harus turun lagi ke bawah sekitar 1 km di desa Wanareja, itu pun masih untung-untungan apakah laki-laki yang bisa mengerjakan tambal ban ada dirumah.

Kami memutuskan Medi untuk turun ke bawah membawa Siti untuk memastikan bisa atau tidaknya Supri ditambal bannya di situ. Tidak lama kemudian Medi kembali mengabarkan bahwa benar 1 km ke bawah ada tukang tambal ban dan pekerjanya pun mau membuka bengkelnya kembali untuk menolong kami. Salut…. saluuut kepada penduduk desa ini, mereka semua begitu ramah dan mudah memberikan pertolongan. Bahkan ketika Supri selesai di tambal, pemilik bengkel hanya meminta harga normal tambal ban yaitu Rp 5.000,-, sekali lagi kami salut dan sebagai ungkapan rasa syukur pun bro Dani memberikan uang Rp 10.00,- kepada pemilik bengkel tersebut. Itu pun pemilik bengkel menolak dan berkeras akan mengembalikan namun bro Dani tetap memaksa ga usah dikembalikan. Sekali lagi salut saluuuuut….

Selain itu sambil menunggu Supri ditambal kami sempat ngobro-ngobrol dengan keluarga pemilik bengkel tersebut dan sempat ditawari masuk ke dalam rumahnya, namun kami menolak dan cukup diluar saja sambil memperhatikan Supri yang sedang di tambal. Menurut pemilik bengkel tersebut Dieng tinggal sekitar 45 menit perjalanan lagi. Wah… wah… waaaah… 45 menit perjalanan bukanlah waktu yang sebentar mengingat rute yang ditempuh adalah jalan kecil, gelap, berliku ditambah lagi diliputi kabut yang dingin membekukan jari-jari. Tapi jangan menyerah perjalanan harus dilanjutkan.

Setelah Supri selesai ditambal, kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga pemilik bengkel tersebut lalu perjalanan kami lanjutkan kembali. Dan benar saja 30 menit kemudian kami sampai di desa Batur, lalu 15 menit setelah itu tibalah kami di desa Dieng tempat yang kami tuju.

21:00

Setiba di desa Dieng, terlihat begitu banyak penginapan dan homestay, namun cukup banyak pula pengunjung yang sudah tiba disitu kebanyakan dari mereka menggunakan mobil berseri B yang artinya dari Jakarta. Kami sempat mencari-cari sejenak penginapan yang cocok buat kami. Hingga bertemu penginapan Pondok Lestari yang menawarkan kamar dengan kamar mandi di dalam serta TV seharga Rp 250.000,-. Kami sempat diam dan berpikir, namun seolah pemilik penginapan tersebut memahami sesuatu dari kami dan ia pun menawarkan kamar yang lebih sederhana yaitu di rumahnya beberapa meter dari Pondok Lestari tersebut dengan harga Rp 125.000,-.

Ternyata setelah tiba di penginapan tersebut, kami merasa ini justru lebih dari cukup, karna meskipun kami hanya menyewa satu kamar namun serasa kami seolah menyewa satu rumah. Full AC (AC Alam Dieng), TV dan kamar mandi yang bebas. Ditambah lagi kami diberikan kue-kue lebaran di penginapan tersebut. Setelah tertarik dengan penginapan tersebut, bro Dani masih menyempatkan menawar dengan harga Rp 100.000,- dan alhamdulillah disepakati, karena memang informasi yang saya terima dari internet, penginapan di Dieng yang sederhana berkisar antara Rp 60.000 – Rp 100.000,-. Untuk yang tertarik dengan penginapan yang kami gunakan di Dieng bisa menghubungi bapak Ahmad Haidar di 081325671508.

Segera motor kami masukan ke dalam rumah, barang-barang pun kami letakkan di kamar. Setelah itu kami menghangatkan badan sejenak dengan kopi luwak dan kopi radix kembali. Setelah badan terasa hangat, kami sempatkan keluar mencari makan, meski sudah banyak yang tutup namun alhamdulillah kami masih bertemu tukang nasi goreng dengan harga hanya Rp 7.000,-. Sebuah harga yang murah untuk daerah wisata. Setelah kenyang kami pun kembali penginapan dan tidur meringkuk menahan dingin Dataran Tinggi Dieng (Dieng Plateau) dengan selimut tebal menutupi seluruh tubuh kami. Zzzzzzzzz……….

Bersambung ke day 3rd

0 komentar:

Posting Komentar