Ketegangan politik di Mesir ibarat gempa dahsyat yang getarannya mengguncang dunia Arab. Seluruh perhatian dunia menuju ke Negeri Piramid dengan tanda tanya besar akan seperti apa akhir revolusi berdarah itu.
Ali Abunimah, pendiri dan penulis di situs Electronic Intifada menyatakan bahwa krisis politik di Mesir akan memberikan dampak dramatis bagi negara-negara di kawasan Timur Tengah, termasuk bagi masa depan Palestina.
Sejauh mana revolusi berdarah akan berpengaruh pada nasib Palestina nantinya, Abunimah dalam analisanya mengungkapkan, jika rezim Mubarak tumbang dan penggantinya adalah tokoh yang tidak terlalu terikat pada Israel dan AS, maka itu artinya kekalahan besar buat Israel.
Abunimah mengutip pernyataan pengamat politik Aluf Benn pada surat kabar Israel Haaretz yang mengatakan, "Melemahnya kekuatan Presiden Mesir Husni Mubarak membuat pemerintah Israel tertekan. Tanpa Mubarak, Israel bisa dikatakan hampir tidak punya teman di Timur Tengah. Tahu lalu, Israel harus menyaksikan aliansinya dengan Turki sudah hancur."
Benn mengatakan, Israel tinggal berharap pada dua aliansi strategisnya yaitu Yordania dan Otorita Palestina. Namun menurut Abunimah, Benn lupa bahwa kedua aliansi Israel itu juga tidak terlalu kebal dengan kemungkinan munculnya kekuatan rakyat anti-pemerintah seperti yang terjadi di Mesir.
Dari "Dokumen Palestina" yang dibocorkan stasiun televisi Al-Jazeera belum lama ini, tulis Abunimah, jelas terlihat keterlibatan tiga kekuatan; AS, Israel dan Mesir dalam menentukan kebijakan terhadap persoalan Palestina, termasuk peran besar Mesir dalam blokade di Gaza.
"Jika rezim Mubarak berakhir, AS akan kehilangan pengaruhnya yang besar terhadap situasi di Palestina, dan Presiden Otorita Palestina Mahmud Abbas akan kehilangan sekutu utamanya dalam melawan Hamas," tulis Abunimah.
Setelah terpojok oleh bocornya "Dokumen Palestina", posisi Otorita Palestina akan makin melemah jika juga harus kehilangan sekutunya di Mesir. Otorita Palestina pimpinan Mahmud Abbas akah kehilangan kredbilitasnya jika ingin melanjutkan proses perdamauan, bahkan dukungan AS dan Eropa yang selama ini memperkuat aparat keamanan Abbas yang represif, secara politis tidak tidak akan mampu bertahan. Jika situasinya seperti ini, kelompok Hamaslah yang diuntungkan, meski kemungkinan tidak dalam jangka panjang.
Lebih lanjut Abunimah menyatakan, rezim Tunisia dan Mesir bersikap keras kepala karena merasa bahwa posisi mereka cukup kuat, memiliki kemampuan untuk meneror dan mengkooptasi rakyatnya. Faktanya, perlahan tapi pasti, rezim di Tunisia berhasil ditumbangkan, dan dengan cepat rezim di Mesir bahkan mungkin di Yaman juga akan mengalami nasib serupa. Kenyataan ini menjadi pesan bagi rakyat Palestina bahwa, baik Israel maupun Otorita Palestina tidak sekuat seperti yang tampak di permukaan. Israel bahkan sudah terbukti mengalami kegagalan besar dalam upaya mengalahkan Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza.
Selain, tulis Abunimah, sudah menjadi rahasia umum bahwa tanpa pendudukan Israel di Tepi Barat dan pemblokadeannya di Gaza, dengan bantuan rezim Mubarak, Otorita Palestina sejak lama sebenarnya sudah tumbang. Tapi atas Otorita Palestina menggunakan alasan proses perdamaian untuk mendapatkan dukungan AS, Uni Eropa, Israel dan pemimpin-pemimpin Arab untuk melanggengkan kekuasaannya di Palestina.
Apa yang terjadi di Mesir menunjukkan bahwa bukan kekuatan militer, tapi kekuatan rakyat dan aksi-aksi protes massa yang mampu membawa perubahan. Saat ini, rakyat Palestina meliputi hampir setengah populasi dalam sejarah Palestina, yang tersebar di Israel, Tepi Barat dan Jalur Gaza. Jika mereka bangkit secara serentak untuk menuntut persamaan hak, apa yang bisa dilakukan Israel untuk menghentikan mereka? Selama ini, tindakan brutal Israel dan kekuatan militernya terbukti tidak pernah bisa menghentikan aksi-aksi unjuk rasa anti-Israel di desa-desa Palestina di Tepi Barat.
Israel, kata Abunimah, tidak akan berani melakukan kebrutalan jika rakyat Palestina bangkit seperti rakyat Mesir. Israel lebih takut melihat dukungan dunia internasional terhadap revolusi di Mesir, dibandingkan dengan ancaman militer dari luar. Melihat perubahan kekuatan rakyat dan sikap mereka terhadap pemerintahannya, negara-negara Arab lainnya juga tidak bisa tetap diam atau terus terlibat dalam penjajahan Israel di tanah Palestina yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.
Indikasi itu sudah terlihat di Yordania. Sebagai solidaritas atas gerakan rakyat Mesir, ribuan orang yang turun ke jalan dari kalangan Islamis dan oposisi sayap kiri menggelar aksi damai yang antara lain menuntut mundurnya Perdana Menteri Samir Al-Rifai, perbaikan ekonomi dan pembatalan kesepakatan damai dengan Israel.
Satu hal yang pasti bisa dilihat hari ini, apapun yang terjadi di kawasan, suara rakyat tidak bisa diabaikan lebih lama lagi. Pemerintah negara-negara Arab yang responsif terhadap tuntutan rakyatnya sudah saatnya mengkaji ulang hubungan mereka dengan Israel dan AS. (ln/EI)
eramuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar